Ada rasa sungkan untuk saya menuliskan ucapan selamat kepada teman-teman yang merayakan Natal pada tahun ini. Walaupun memang tak sedikit teman saya memang berlatar belakang Kristiani.Â
Bukan sungkan karena alasan apa-apa. Namun karena mempertimbangkan, jangan sampai karena ucapan saya yang niatnya menghargai teman-teman yang berbeda agama, justru membuat mereka terusik.Â
Sebagai seorang Muslim, dikenal sebagai seorang Aceh, mengucapkan kalimat selamat saja bisa bikin ribut di mana-mana.
Walaupun ada ulama yang memang menolak, namun tak sedikit ulama yang juga membenarkan sekadar ucapan selamat. Masing-masing memang memiliki dalil tersendiri. Inilah yang lantas memicu keriuhan tidak berujung saban tahun, karena di tengah kalangan Muslim ada persilangan pendapat boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani.
Ribut-ribut itu juga yang melahirkan sebuah pemandangan ironis yang gampang dipantau di media sosial di mana umat Kristiani bergembira dengan kedatangan hari Natal, umat Muslim malah ribut sendiri.
Tidak terkecuali saya pribadi yang berpengalaman jadi sasaran bully, sering banjir hujatan karena memiliki prinsip yang dianggap kurang islami, terlihat kurang iman, dlsb. Kalau celaan itu hanya terhenti di saya pribadi, tentu saja bukan masalah. Namun jika celaan itu merembet hingga ke teman-teman Kristiani, tentu saja itu sangat disayangkan.Â
Jadi, saya pilih mengerem saja. Berlagak sebagai penakut yang takut dengan bully-an hingga celaan dan caci maki.Â
Namun tersenyum simpul saat mencoba mengintip media sosial salah satu calon presiden, Prabowo Subianto, yang notabene memang berasal dari keluarga besar Kristiani. Sosok yang digadang-gadang sebagai pilihan ulama ini bisa dengan tenang menunjukkan ucapan selamat kepada keluarga besarnya. Nyaris tidak ada celaan.
Ini juga yang membuat sebagian teman-teman saya jadi berkelakar menyikapi ini. Alhasil, tak sedikit yang melempar postingan di media sosial bernada, "Selamat Natal, Pak Prabowo."
Bukan. Mereka bukan melecehkan umat Kristiani merayakan Natal. Mereka hanya sedang menciptakan anekdote tentang "sikap dua muka" sebagian kalangan yang mengaku diri paling agamis dan paling dekat dengan Tuhan. Lantaran Prabowo yang katanya juga Muslim justru aman dari kritikan dan celaan.Â
Padahal kalau dilihat-lihat, Prabowo tidak saja mengunggah video berisikan ucapan selamat Natal, namun ia juga turut merayakannya dan bahkan terekam di Instastory salah satu keponakan sekaligus kader partainya, Rahayu Saraswati.
Jauh berbeda dibandingkan dengan Kepala Negara Joko Widodo hingga Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.Â
Kedua sosok yang notabene harus menempatkan semua pemeluk agama di kalangan bangsanya secara setara itu, harus menerima celaan hingga hinaan cuma karena memberikan ucapan "Selamat Natal."
Bahkan seorang Kiai Ma'ruf Amin yang terkenal sebagai ulama dan pernah memimpin lembaga sekelas Majelis Ulama Indonesia, pun tak tanggung-tanggung menjadi sasaran celaan hingga hinaan. Hanya karena ia memilih mengucapkan kata selamat tersebut.Â
Ulama, benar-benar ulama, bukan yang diulamakan oleh YouTube atau media sosial, tapi benar-benar sudah menunjukkan kerjanya sebagai ulama yang memimpin umat dengan keulamaannya, pun jadi sasaran perundungan alias bully.
Makanya beruntung sekali menjadi Prabowo. Ia bisa menunjukkan jatidirinya sebagai seorang yang berasal dari keluarga Kristiani tanpa perlu memusingkan urusan bully. Emang ada yang berani menjadikannya sasaran bully?Â
Maka itu, lahirlah anekdote lewat kalimat singkat, "Selamat Natal, Pak Prabowo." Pasalnya mereka meyakini sekali, jika mengucapkan selamat Natal karena memang berteman dengan banyak umat Kristiani, entah sebagai relasi kerja atau memang sahabat, bisa panen hujatan.Â
Contoh paling dekat adalah saya sendiri. Saat tahun lalu menunjukkan ucapan selamat kepada teman-teman saya dari umat Kristiani, justru harus memanen caci maki. Hanya karena ucapan selamat untuk teman-teman sendiri, banyak yang menanggapi dengan penghinaan, bahkan ada yang menyarankan untuk ganti agama saja.Â
Pemandangan ini bisa dibilang mencengangkan, sekaligus menggelisahkan.Â
Ucapan selamat saja bisa dipelintir ke mana-mana. Yang selamat dari pelintiran itu hanya Prabowo saja, karena mungkin sudah kadung terselamatkan oleh sebuah pencitraan yang terbilang berhasil, bahwa dia adalah pemimpin pilihan ulama.Â
Bahkan yang konon adalah ulama, dan berada di kubunya, tidak ada yang berkutik dan berani mengkritik Pak Capres ini. Walaupun mereka yang konon ulama ini bisa sangat pedas di depan Jokowi yang hari ini masih menjadi pemimpin bangsa, dan Lukman sebagai Menteri Agama yang harus mengurus keperluan semua agama resmi di negaranya.
Hampir semua pemberani di media sosial, memiliki segala macam stok kata-kata terpedas dan mematikan, menjadi sopan di depan seorang Prabowo.
Luar biasa bukan?Â
Tidak ada yang salah dengan Prabowo. Kalaupun ada kesalahan itu, ya, di kepala kita yang belum terbiasa menghargai yang berbeda. Kesalahan itu adalah pada cara berpikir yang gemar menyalahkan siapa yang dianggap berbeda, dan hanya membenarkan yang dipandang satu kubu saja. Ya, sudah di level inilah dikotomi yang terjadi, yang kian menjurus kepada diskriminasi yang tak lagi bisa dikatakan basa-basi.
Padahal kalau mau berpikir adil, baik Prabowo atau Jokowi hingga Lukman sebagai Menteri Agama, sudah sepantasnya menunjukkan sikap menghargai kepada umat yang berbeda. Bukan karena mereka ingin menukar akidah, murtad, dlsb, sebagaimana tuduhan-tuduhan yang acap dilemparkan selama ini. Mereka melakukan itu karena memang terlepas berbeda agama, namun di semua agama terdapat manusia yang tetap pantas dihargai.
Masalahnya, Prabowo boleh. Sedangkan pemimpin yang masih sah memimpin warga mereka yang berasal dari semua agama, tidak boleh. Ada ketidakadilan di sini.
Padahal jika mau berpikir adil, Jokowi dan Menteri Agama memang harus menunjukkan sikap menghargai bangsanya yang kebetulan berbeda agama. Apakah dengan sikap mereka seperti itu lalu Tuhan marah-marah sampai memecahkan gelas? Eh. Sedangkan saat Prabowo menunjukkan dirinya sebagai seorang yang memang berasal dari keluarga Kristiani, Tuhan membatalkan marah karena merasa marah-Nya sudah diwakili Pak Capres ini?
Di luar cerita politik dan copras-capres, pemandangan ini memang menjadi ironi tersendiri.Â
Sekaligus pemandangan itu juga mewakili realitas bahwa ada kecenderungan orientasi politik sudah membuat banyak orang memilih prinsip, "Kami tak pernah salah. Kalian penuh dosa."
Bukan, bukan menuding bahwa sikap Prabowo yang memilih mengucapkan selamat Natal dan merayakan hari besar umat Kristiani ini sebagai kesalahan. Namun bagaimana sikap masyarakat, sikap kita, dalam melihat pemandangan seperti ini.
Lihat saja bagaimana pihak pendukung salah satu calon presiden ini melemparkan cibiran, celaan, hingga hinaan terhadap Kepala Negara Joko Widodo dan Menteri Agama Lukman Saifuddin. Termudah, melihat komentar-komentar di berbagai platform media sosial. Banyak yang memilih menutup mata bahwa sosok-sosok ini adalah pemimpin, Jokowi sebagai pemimpin negara, dan Lukman Saifuddin sebagai pemimpin di lembaga yang memayungi semua agama.
Jika menyimak dengan nurani, mungkin kita hanya bisa mengurut dada. "Berpolitik kok gini-gini amat," melihat sikap sekelompok orang yang tanpa beban menghamburkan kata celaan, hanya karena tokoh-tokoh bangsa itu menunjukkan sikap menghormati perayaan kalangan anak bangsa yang berbeda agama.
Prabowo sendiri sebagai salah satu calon presiden bahkan terkesan menikmati suasana ini. Ia membiarkan pengikutnya yang sebagian besar adalah Muslim, mencela sesama Muslim hanya karena "ucapan selamat" dan ia sendiri bisa dengan tenang merayakan Natal, bukan sekadar mengucapkan selamat.
Padahal, bisa saja ia menunjukkan sikap, "Eh, keluarga saya juga Kristen. Jadi saat pemimpin negara sampai menteri mengucapkan selamat, itu juga pertanda mereka masih menghargai keluarga saya."
Tidak. Tidak ada sikap jantan itu, setidaknya untuk membantu pengikutnya bisa bersikap adil. Ada kesan, selama dirinya aman-aman saja dari celaan, urusan lawan politiknya dicela tanpa ampun, bukanlah sebuah beban.
Walaupun ia tahu, sebagian besar kalangan garis keras berada di pihaknya, jadi pengikutnya, dan mereka juga yang getol menghamburkan berbagai kata bernada celaan hingga menjurus penghinaan.
"Beragama apa saja bukan aib!" sempat saya tuliskan di dinding akun facebook pribadi. Seraya berharap bahwa Prabowo tak perlu menyembunyikan diri, bahwa ia juga merayakan Natal. Ia juga bergembira dengan perayaan ini. Bahkan jika di depan ulama ia bisa menggebrak meja tanpa perasaan berdosa, saat merayakan Natal ia terlihat sangat bahagia.
Itu tidak perlu ditutupi. Menampilkan diri apa adanya, tanpa menyibukkan diri mengerahkan "pasukan" untuk membantah dan membantah bahwa dirinya merayakan perayaan tersebut, itu tentu saja lebih baik.Â
Setidaknya dengan cara itu membantu mengakrabkan pengikutnya dengan sudut pandang bahwa ada kondisi yang tak bisa dielak karena ada realitas bahwa ini adalah negeri majemuk, yang terdiri dari banyak agama. Satu keluarga saja bisa berbeda agama, seperti halnya dirinya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H