Tahun politik semestinya menjadi tahun pendidikan politik. Setidaknya, rakyat bisa diajak untuk melihat dengan jernih, membaca dengan jelas, dan ketika mereka harus memilih, maka mereka menjatuhkan pilihan dengan kejernihan dan kejelasan.
Sayangnya, harapan itu bisa terasa terlalu muluk. Ya, lagi-lagi kalau melihat bagaimana kencangnya sementara kalangan merecoki pikiran publik dengan banyak hal yang sejatinya sangat menggelitik.Â
Bagaimana tidak menggelitik, ketika beberapa tokoh politik tampil untuk mengenalkan dirinya, ia lebih banyak membicarakan sesuatu yang jauh dari fakta, dan terkesan tidak memusingkan data. Masyarakat diposisikan sebagai kalangan yang naif, tidak membutuhkan fakta atau data. Terpenting heboh, terpenting viral, dan terpenting bisa menjadi buah bibir.
Kalau mengacu ke ilmu strategi, bisa jadi hal-hal seperti itu dipandang lumrah saja. Sebab dalam membangun brand berbagai cara bisa saja dilakukan, asalkan brand tersebut semakin dikenal, semakin akrab dengan banyak orang, dan perlahan diyakini bahwa itu menjadi bagian dari keseharian mereka.
Soal apakah "isi" dari brand tersebut benar-benar baik atau tidak sama sekali bukan persoalan. Sebab yang dituju adalah membuat brand tadi menjadi akrab dengan siapa saja. Junk food bisa menjadi contoh terdekat, bagaimana ketika orang-orang lapar, mereka bisa dengan ringan melangkahkan kaki ke gerai-gerai yang menyajikan makanan cepat saji tadi tanpa menggubris lagi apakah makanan ini baik atau tidak untuk dirinya.
Apakah orang-orang mau merepotkan diri untuk melihat apakah di sana ada kandungan nutrisi yang bermanfaat bagi tubuhnya atau tidak, bukan persoalan. Terpenting hasrat memenuhi panggilan cacing di perut terpenuhi, dan gengsi bisa makan di gerai yang terkenal terjawab, dianggap sudah cukup. Perkara selesai di sana.Â
Terlihat, inilah yang menjadi salah satu jurus yang menjadi andalan dari pasangan calon presiden dan wakil presiden yang gemar melempar data asal-asalan. Mereka bisa berbicara tentang kemiskinan dengan data dari sumber suka-suka, melempar kritik soal harga tanpa peduli benar atau tidak data diutarakan.Â
Tak perlulah saya sebut nama. Toh, mereka sudah terkenal dengan jurus ampuh untuk melepaskan beban perasaan bersalah dengan meminta maaf setelah berkali-kali sengaja melecehkan publik hingga menipu publik terang-terangan: dari melecehkan pekerja ojek online hingga meremehkan masyarakat dari satu daerah.Â
Mereka juga bisa melangkahi kuburan sesepuh organisasi berlatar belakang agama tanpa menghiraukan pantas atau tidak.
Sebab semua sudah ada jurus yang sudah disiapkan, yakni minta maaf.Â