Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membaca Langkah Prabowo Berburu Istana

3 Desember 2018   19:30 Diperbarui: 3 Desember 2018   21:16 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dari sebelum terpilih sudah menampilkan banyak ketidakjujuran, apa yang bisa diharapkan jika seorang calon pemimpin kemudian terpilih sebagai pemimpin? Apakah kemudian ia akan berubah menjadi jujur dan menjadi lebih baik? 

Pertanyaan itulah yang berkelebat ketika tren menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) semakin kental dengan sebuah gaya berjudul "Jangan terbeban melakukan kesalahan, terpenting minta maaf dan dimaafkan."

Sekilas terlihat mulia sekali. Ada orang bersalah, namun berlapang dada untuk minta maaf. Kesalahan tadi bisa saja dilupakan, namun yang mengental dan mengemuka adalah citra bahwa seseorang tersebut adalah figur berjiwa besar, ksatria, dan berbagai citra positif.

Jurus ini tampaknya menjadi salah satu jurus andalan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, yang mau tidak mau mesti diakui semakin menjadi magnet berkat jurus itu. Betapa di kalangan pendukungnya kesalahan yang pernah muncul tak lagi dianggap sebagai kesalahan, dan yang dimunculkan adalah narasi yang menggiring untuk meyakini bahwa mereka adalah pasangan yang memiliki label positif seperti ksatria dan sejenisnya tadi.

Upaya menggiring opini publik untuk melihat citra positif yang lahir setelah melakukan kesalahan itu tampaknya cukup berhasil. Setidaknya jika membaca dan mencermati bagaimana perbincangan yang muncul semisal di media sosial atau talkshow di berbagai media TV, bahkan figur-figur yang dimunculkan kubu Prabowo bisa menjadi idola bagi sebagian kalangan di tengah publik. 

Sederhananya jika tangan kanannya yang ia munculkan begitu berpengaruh kuat kepada publik, apatah lagi dirinya yang diwakili oleh mereka. Di sini memang terlihat bahwa publik sudah cukup termakan umpan-umpan yang dilempar oleh kubunya.

Prabowo nyaris tak perlu dipusingkan dengan keharusan menunjukkan prestasi yang bisa meyakinkan bahwa ia yang berkarier di militer hanya sampai di tingkat Letnan Jenderal kelak pantas memimpin rakyat yang di sana juga terdapat seabrek jenderal. 

Ia juga hampir tidak perlu risau untuk menunjukkan apa saja yang sudah dilakukannya dan itu bisa meyakinkan bahwa ia punya rekam jejak meyakinkan untuk mengurus publik Tanah Air yang notabene masih cenderung bermental eksklusif, punya fanatisme kesukuan dan agama sangat kuat, namun di sisi lain masih rawan dengan mental koruptif dan sejenisnya.

Terlihat ini memang hanya langkah-langkah sekadar bagaimana "berburu istana". Ini tentang berburu kekuasaan. Bukan berburu cara bagaimana memberikan sesuatu yang terbaik untuk rakyat yang di luar istana.

Maka itu, terlihat ia merasa cukup memainkan narasi-narasi sereceh isu PKI yang dilemparkan dan dibicarakan di mana-mana. Ini juga yang secara terus menerus dimainkan tokoh di lingkarannya. Publik diajak untuk mencemaskan atau takut kepada sesuatu yang sudah mati. Ibarat menakut-nakuti anak kecil bahwa seorang yang sudah mati maka ia akan menjadi hantu yang bisa sangat kejam dibandingkan ketika ia sangat hidup.

Di sanalah ia dan kalangannya membolak-balikkan logika dan nalar publik. Jangan heran, jika Anda menyempatkan berkunjung ke daerah-daerah, berbicara dengan masyarakat di desa-desa, akan bersua masyarakat yang termakan dengan isu-isu "hantu" tersebut.

Jika ada yang nekat mengajak untuk menalar ulang, dan melihat dengan jernih, maka jurus lain yang dimainkan adalah labeli saja orang tersebut sebagai pendukung atau simpatisan PKI yang menginginkan "hantu" tersebut hidup lagi.

Ini semua tentu saja adalah kebohongan, dan tampaknya ini juga yang membuat pasangan tersebut mendapatkan label berbau anekdote, "Prabohong." Apalagi memang secara hukum pun partai tersebut masih berstatus terlarang, dan tidak ada gerakan yang mengarah supaya status itu dicabut. Pun partai yang mengusung lawannya pun jelas-jelas adalah PDI hingga Golkar dan PPP, yang notabene sudah ada sejak Orde Baru masih berdiri.

Namun kebohongan dalam isu tersebut terbilang paling halus. Sebab di sini Prabowo sendiri nyaris tak membicarakan hal ini untuk tetap menjaga citranya, namun orang-orang di lingkarannya terlihat dibiarkan (atau mungkin dianjurkan?) untuk tetap melempar isu tersebut.

Bahwa dengan isu-isu yang sarat kebohongan ini hanya melahirkan ketakutan tidak perlu di tengah masyarakat, lagi-lagi bukanlah sesuatu yang dipandang perlu untuk dirisaukan. Sebab yang terpenting adalah bagaimana menanamkan antipati atau penolakan terhadap lawan yang sudah secara masif dituduh sebagai PKI, penista ulama, penista agama, dan sejenisnya.

Lebih jauh, kalau saja kubu pemburu kekuasaan ini benar-benar tulus mengejar kekuasaan itu untuk rakyat, semestinya bisalah menyajikan narasi atau bahkan propaganda yang lebih baik. Terlepas ada "rukun iman" tersendiri di dunia politik termasuk jika seorang politikus memilih menjadi Machiavellian yang membenarkan semua cara asalkan tujuan tercapai, namun jika memang kekuasaan untuk mengabdi kepada rakyat, tak perlulah merusak sesuatu yang terpenting pada rakyat: nalar atau akal sehat.

Sekarang, lihat saja bagaimana akal sehat rakyat dirusak dengan berbagai isu yang cenderung agitatif dan provokatif, dan jauh dari cara-cara edukatif. Padahal dengan merusak akal sehat rakyat saja, sejatinya mereka sudah berkhianat kepada rakyat. Sebab rakyat yang tak sedikit mulai percaya kepada mereka, mengagumi mereka, dan bertekad memilih mereka hanya dijejali hal-hal menyesatkan: kebohongan demi kebohongan.

Dengan tren seperti itu, apakah kelak ketika Prabowo dan Sandi menguasai negeri ini takkan menambah kebohongan lebih banyak untuk menutupi kebohongan yang sudah diciptakan jauh-jauh hari sebelum berkuasa? 

Tidak perlu saya jawab. Tinggal Anda memastikan nalar Anda tetap sehat. Pun, memastikan bahwa di tengah serbuan virus kebohongan itu, Anda punya imun cukup kuat agar nalar tidak dilemahkan setelah dihujani virus tadi. Sebab siapa saja yang kelak berkuasa, sesehat apa nalar kitalah yang paling menentukan. 

Tanpa itu, seribu nabi terlahir lagi pun hanya akan terusir dan tersingkir, karena ketika nalar mati maka yang jelas-jelas buruk pun bisa terasa baik. Sedangkan yang benar-benar baik hanya jadi sasaran penghinaan, pelecehan, dan cemoohan meskipun seorang pemimpin sudah menunjukkan dirinya lebih sering keluar dari istananya agar bisa membangun istana impian rakyatnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun