Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fantasi HTI dan Gerakan Radikal Setara Efek Narkotika?

27 September 2018   09:30 Diperbarui: 27 September 2018   09:40 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hizbut Tahrir dan ide yang membahayakan Indonesia - Gbr: indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au

Hizbut Tahrir Indonesia menjadi pemandangan yang cukup dapat dijadikan referensi. Sekilas, gerakan ini memang terbilang santun. Jauh dari ingar bingar permusuhan, atau melakukan diskriminasi terang-terangan terhadap perbedaan. Bukan berarti tidak ada sama sekali aksi dan gerakan mereka yang menjurus ke sana, namun cenderung lebih tersamar. Salah satu buktinya adalah ketika mereka menegaskan sikap penolakan terhadap demokrasi.

Sekilas benar, seolah tak ada persoalan serius di balik penolakan mereka terhadap demokrasi. Namun jika melihat pengaruh sudut pandang ini hingga ke akar rumput atau masyarakat awam, akhirnya banyak yang sampai pada keyakinan bahwa demokrasi hanya produk kafir. Sementara orang yang disebut kafir sudah diidentikkan sebagai musuh, yang tidak akan pernah senang kecuali satu pemeluk agama tertentu jadi bagian mereka.

Di sanalah sejatinya berbagai kemungkinan terjadi. Penalaran terhadap realitas dengan konsep yang digulirkan menciptakan semacam perasaan mabuk---yang diistilahkan Cak Nur sebagai efek "narkotika" dalam beragama. Alih-alih melihat realitas dengan jernih, yang ada adalah fantasi-fantasi yang terlalu tinggi, yang kemudian hanya membuat sekelompok orang memilih menikmati fantasi tadi. Pikiran jadi larut dengan lamunan pada bidadari, pada perang yang menjadi "jalan tol" untuk ke surga, dan sebagainya.

Cak Nur dan pesan kemanusiaan dalam beragama - Gbr: @SabdaPerubahan
Cak Nur dan pesan kemanusiaan dalam beragama - Gbr: @SabdaPerubahan
HTI menjadi salah satu organisasi yang memiliki arah ke sana. Setidaknya itu terlihat dari bagaimana mereka menunjukkan perlawanan terhadap demokrasi itu sendiri. Namun perlawanan mereka baru di tingkat wacana (katakanlah begitu) hingga mampu meyakinkan banyak orang bahwa mereka tidak berbahaya.

Kalaupun bahaya, menurut sebagian orang, HTI masih kalah bahaya dibandingkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mereka pandang punya dosa membunuh jenderal hingga membantai ulama. Sudut pandang ini belakangan bahkan membawa pengaruh bahwa kadar bahaya HTI bisa dibilang belum apa-apa dibandingkan PKI.

Padahal jika saja mau menengok sejarah yang sudah tercatat, HTI dan PKI bisa memiliki bahaya yang sama. Sebab kedua organisasi yang kini berstatus terlarang itu sama-sama memiliki mimpi untuk membangun dan menerapkan ideologi sendiri-sendiri. Bedanya, dulu Soeharto dengan lingkarannya berhasil mencitrakan PKI sebagai musuh bersama, didukung lagi dengan ideologi diusung partai politik sekaligus gerakan itu dinilai berseberangan dengan Islam yang notabene sebagai agama mayoritas.

Ketika Soeharto melakukan propaganda untuk menegaskan sikap anti-PKI, ia mampu menjadikan sikap ini tidak lagi hanya sekadar sikap rezimnya namun telah menjadi sikap bersama. Jika ada rakyat tidak bersepakat, maka ia dapat saja dituduh pro-PKI atau simpatisannya. Nantinya akan secara otomatis orang yang dituduh PKI ini akan dimusuhi masyarakat di sekelilingnya. Soeharto pun tak perlu lagi berkeringat untuk menghantam siapa saja yang ditengarai punya potensi mengusiknya.

Pola-pola Soeharto itu perlahan mulai kembali diadopsi. Amien Rais yang mengklaim diri sebagai bapaknya reformasi pun, terlihat getol mengadopsi cara-cara ini. Ia bersama beberapa figur seperti Alfian Tanjung rajin melempar panah tuduhan sebagai PKI kepada pihak yang berada di kubu berseberangan dengan mereka.

Ironisnya, HTI justru mereka rangkul. Padahal jelas, entah PKI atau HTI, keduanya sama-sama ingin mendepak apa saja yang telah menjadi identitas Indonesia sejak lahirnya. Kalau PKI acap dituding menolak ketuhanan, sementara HTI ingin agar ketuhanan yang ada di sila pertama hanyalah Tuhan yang mereka yakini sendiri.

HTI dianggap sebagai saudara seiman, dan jika sudah seiman diyakini selayaknya satu tubuh, maka akhirnya pemerintah yang ada di seberang mereka pun diam-diam dan terang-terangan mulai dituding sebagai PKI.

Di sinilah kemelut dari HTI menular ke mana-mana, hingga merangsek sampai ke wibawa pemerintah yang sejatinya juga berdarah-darah hingga berpeluh untuk menjaga Pancasila. Buktinya, pemerintah pun dilabeli dengan organisasi atau partai politik yang sudah lama terkubur: PKI. Sedangkan ketika pemerintah bereaksi meringkus pelempar bola fitnah PKI, permainan yang dimunculkan adalah propaganda bahwa pemerintah memusuhi Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun