Tokoh pers internasional, David S. Broder, pernah berujar; bahwa mereka yang berakal sehat takkan memilih kewartawanan sebagai karier pilihan.
Kalimat itu berkelebat di benak saya saat sedang terkapar di tempat tidur karena flu parah. Bukan karena flu dan ingus yang keluar lantas kalimat itu keluar, tapi karena mengetahui salah satu media kenamaan, Tempo, diserbu sekelompok ormas.
Namun diserbu di sini masih terbilang tak semengerikan kata serbu itu sendiri. Sebab, kantor media yang kerap saya lewati itu hanya didatangi ratusan anggota ormas, tanpa ada tindakan anarki membahayakan, kecuali pelemparan botol air mineral dengan perampasan kacamata pemimpin redaksi Tempo sendiri.
Saya katakan tidak mengerikan karena tak sampai ada pengeroyokan yang mengancam keselamatan insan pers di sana, terutama Pemred Tempo yang berani memasang badan, tampil, menemui khalayak ormas tersebut dan berdialog dengan mereka.
Di sini, ada sikap elegan diperlihatkan oleh Pemred Tempo. Ia mampu menunjukkan mental insan pers bertanggung jawab, menjelaskan bagaimana pekerjaan pers, sekaligus masih sempat menunjukkan bagaimana jalur yang benar jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh media.
Tak mudah untuk berdiri sebagai seorang Arif Zulkifli yang notabene merupakan pemimpin redaksi di medianya itu. Â Ia memahami ada kemarahan kelompok, menyadari ada potensi membahayakan dirinya, namun ia menunjukkan sikap tak ubahnya seorang jenderal tangguh.
Saya meyakini, anak buahnya yang sebagian besar ada di dalam gedung bercorak buku yang jadi markas Tempo itu pasti dibalut perasaan cemas dan takut. Bagaimana kalau Pemred mereka dihajar massa, atau bagaimana jika ia justru dibunuh?
Ketakutan itu menjadi hal lumrah, sebab yang sedang dihadapi adalah sekelompok massa yang sedang marah. Kemarahan jamak diketahui kerap bikin orang gelap mata, kalap, dan terbawa keinginan merusak atau menghancurkan.
Namun sikap yakin seorang Arif Zulkifli, dan jiwa ksatrianya, membuat massa yang marah justru teredam. Sedikitnya, itu juga mampu memberikan pikiran positif bagi anak buahnya, bahwa semua akan baik-baik saja.
Betul saja, bahwa akhirnya semua memang baik-baik saja. Terlepas, ada upaya provokasi atasnya dan massa di sana, lewat upaya mencopot kacamata yang dikenakannya. Kalau saja ada yang terprovokasi lebih jauh, risiko yang di luar perkiraan dapat saja terjadi.