Menjelang akhir tahun 2017, di luar dugaan kegiatan saya di media sosial Twitter mengundang kehebohan. Berbagai media mengangkat kasus tersebut, terlebih lantaran saya akhirnya harus mengakhiri pekerjaan saya di salah satu media olahraga. Berbagai respons bermunculan, tak terkecuali hari ini, masih terus berdatangan. Lalu apa yang bisa dipetik dari pengalaman itu?
Bagi sebagian orang, apa yang saya alami adalah sebuah contoh buruk. Sialnya, dari sana mereka terlihat berusaha turut menebar ketakutan, misalnya, jika Anda terlalu lancang di media sosial, maka Anda akan berhadapan dengan sebuah risiko yang fatal. Kehilangan pekerjaan digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan, dan bahkan dipersepsikan sebagai aib.
Jika ditanya, mana yang lebih menakutkan bagi saya antara risiko dipersekusi dengan mewabahnya ketakutan, hal kedua lebih saya takutkan terjadi. Sebab jika ketakutan seperti itu terjadi, bagaimana berharap pencerahan, pencerdasan, dan kemajuan bisa terjadi?
Dalam kasus saya, memang ada konsekuensi yang sekilas mahal menimpa saya dan keluarga. Kehilangan satu pekerjaan, dihantui teror, sampai dengan citra saya yang mungkin semakin buruk. Namun saya memilih beranjak dari sudut pandang negatif atas sebuah kejadian besar sepanjang saya bermedia sosial itu, dan berusaha melihat pada misi saya untuk publik.
Apa misi itu? Agar kritik-kritik sosial, yang memang tak bisa dipisahkan begitu saja dari agama, tetap hidup dan lebih akrab dengan publik. Kenapa itu diperlukan, tak lain karena kritik-kritik sosial itulah yang saya yakini bisa membantu terciptanya pola pikir, sudut pandang, sampai dengan perilaku dan kebiasaan lebih baik di masa mendatang.Â
Sebab, fakta yang saya simak, di sekeliling kita masih banyak yang menabukan banyak hal, sehingga banyak hal yang justru menjadi abu-abu. Kondisi abu-abu itu tentu saja bukanlah kondisi ideal, karena di sana keculasan, penipuan, penyesatan, sampai dengan penggiringan ke arah destruktif lebih rentan terjadi.
Publik dapat saja kelak justru memilih permisif dengan kekerasan, pengeroyokan, atau bahkan penipuan hanya karena kelihaian figur-figur publik yang lihai memanfaatkan ketertutupan sudut pandang yang memasyarakat. Ini tentu saja bukanlah realita ideal yang harus terjadi. Sebab jika mengulik lagi, kedatangan agama sendiri tak lepas dari misi menciptakan kultur membebaskan, mencerdaskan, dan memperbaiki; bukan merusak atau menghancurkan.
Seorang Nabi Muhammad, misalnya, dari kacamata di luar urusan kenabian dan religiusitas, datang untuk memperbaiki kultur dan habitsyang ada di tengah masyarakat Arab jahiliyah yang jamak diketahui sadis, gemar menipu, sampai dengan berbagai hal negatif lainnya.
Bagi penganut konsep teologi pembebasan, kedatangan para Nabi, termasuk Muhammad dan berbagai nabi lainnya, dipahami sebagai upaya untuk perubahan tersebut. Manusia kembali kepada kemanusiaannya, dan menjadi spirit beragama untuk memantapkan keyakinan bahwa usaha membantu sesama manusia, membela sesama manusia, adalah sesuatu yang disenangi Tuhan.Â
Juga jika menyimak dari sudut pandang ketauhidan, sebagai acuan bagi masyarakat Muslim, yang memiliki kebutuhan itu hanyalah manusia, sedangkan Tuhan sendiri tak punya kebutuhan apa-apa kepada makhluk-Nya.Â
Segigih-gigihnya manusia membangun kekuatan, mereka tetap lemah di depan Yang Mahakuat, maka itu ada banyak pesan dalam pelajaran keislaman untuk menolong yang lemah, membantu yang minoritas, sampai dengan membela mereka yang membutuhkan pembelaan.
Sayangnya, menyimak tren yang muncul selama ini, kritikan pun dipandang tabu dan cenderung divonis sebagai penghinaan. Sedangkan caci-maki sampai dengan pelecehan yang membawa-bawa dalih agama sudah dianggap sebagai jihad. Kok agama justru direndahkan oleh orang yang justru gagal menangkap pesan di balik kedatangan agama? Dalih membela agama tapi yang terjadi justru saling menjatuhkan, dan merasa bangga ketika ada yang terzalimi atau terhancurkan, hanya karena berbeda sudut pandang, atau bahkan berbeda aliran meski tetap satu agama.Â
Padahal bukan rahasia jika hampir semua agama memiliki sangat banyak aliran, sangat banyak pemikiran, dan semestinya tak ada pemaksaan untk "menabikan" pemuka agama, lantaran dalam Islam diketahui bahwa ulama pun memiliki lebih banyak aliran. Tujuan dari keberagaman itu, tentu saja untuk kebaikan, agar satu sama lain tak merasa di atas lainnya, tak merasa sebagai yang paling baik.Â
Sebab kecenderungan manusia, jika terjebak halusinasi sebagai yang terbaik, kecenderungan yang terjadi adalah yang lain harus mengikuti mereka dan mengikuti aturan yang mereka yakini saja.
Jika sudah begitu, risiko makin mewabahnya kezaliman akan rentan terjadi. Sebab kezaliman bisa terjadi bahkan dengan alasan paling suci sekalipun. Ini tentu saja bukanlah alasan kenapa Tuhan harus "mengirim" agama ke dunia. Lantaran esensi sesungguhnya adalah agama untuk manusia, memperbaiki manusia, dan membawa manusia ke arah yang lebih baik. Intoleransi, kezaliman, ketidakadilan, bukanlah suatu tren baik, dan tren inilah yang mesti terus dilawan.
Apa yang ingin saya utarakan di sini tak lain, jangan sampai ada yang terbawa sudut pandang yang mengarahkan ke titik ketakutan; sehingga makin sedikit yang berani bersuara atas realita di sekeliling mereka. Bagi sebagian orang, barangkali ada seribu satu alasan untuk takut, tapi bagi mereka yang pernah berperan mengubah sejarah, selalu memiliki jutaan alasan untuk berani. Sebab negeri ini pun lahir dan bertahan karena lebih banyak yang memilih berani.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H