Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Dari Kertas Koran ke Panggung Kompasianival

30 Oktober 2017   09:29 Diperbarui: 31 Oktober 2017   12:59 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Koran memang menjadi yang pertama bikin saya jatuh cinta, di luar buku. Itu juga karena sejak SD--sekitar Kelas III--sudah disodori koran oleh Bapak. Anak SD bau kencur itu lantas bergulat dengan berita-berita politik, dan berdiskusi dengan Bapak dan teman-teman SD-nya.

Anak-anak SD bicara politik? Iya, karena teman-teman sekelas yang biasa menjadi "musuh" di tiga besar peringkat di kelas tak hanya berlomba berburu peringkat, tapi sama-sama ingin menjadi yang paling tahu urusan politik.

Jadilah anak-anak SD itu pun mengupas soal Perang Dunia Pertama, Perang Dunia Kedua, konflik Timur Tengah, masalah kelaparan di Somalia. Nggilani-nya lagi, anak-anak SD tadi itu, saya dan teman-teman terkadang "kurang hajar", menyela obrolan orang dewasa ketika dirasa ada data yang keliru atau runutan kisah perang dipandang diobrolkan secara tidak tepat seperti tertulis.

Sekarang, anak-anak "kurang hajar" itu tak semua berkecimpung di media. Yang satu sudah menjadi Sekretaris Desa di kampung asal saya, Jeuram, Aceh. Satunya lagi menjadi salah satu pejabat di lembaga pemerintah, di Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Saya saja yang akhirnya tetap menggumuli dunia media. Awalnya cuma karena motivasi bahwa para tokoh bangsa di negeri ini di masa lalu hampir tak ada yang lepas dari media, jadilah media kian digeluti.

Sejak awal kuliah hanya mengincar koran-koran lokal. Gagal mendapat tempat di kolom Opini, mendapatkan tempat di kolom Surat Pembaca saja sudah terasa sebagai prestasi.

Di sela-sela itu, berburu berbagai seminar dan pelatihan jurnalistik, menjadi salah satu yang getol saya lakukan. Cuma karena teringat pesan, "Ilmu itu tidak datang sendiri, melainkan harus diburu."

Sampai kemudian berbekal sertifikat demi sertifikat, saya bergabung dengan beberapa media lokal di Aceh, yang sering bernapas pendek. Ada juga, "Koran Tempo" istilahnya. Maksudnya, tempo-tempo terbit, tempo-tempo tidak.

Tapi berkarier di media lokal itu saja sudah terasa sebagai sebuah gengsi tersendiri. Bagaimana tidak, di daerah tidaklah banyak yang berani melirik profesi ini. Banyak yang akrab dengan koran, tapi saya bahkan tak pernah mendengar ada teman sekolah dari SD sampai kuliah yang pernah mengaku ingin jadi wartawan tiap kali ditanyakan apa cita-cita mereka.

Belakangan saya maklumi, memang bekerja di media lokal itu risiko miskin jauh lebih besar. Bagaimana tidak, jika berharap pada gaji, maka gaji yang ada--saat saya di sana--hanya dalam hitungan sekian ratus ribu rupiah. Jangankan mimpi untuk membangun istana tanpa menunggu warisan orang tua, mimpi untuk kawin pun terasa terlalu muluk.

Bahkan jodoh pun datang karena ketertarikannya pada tulisan bekas perjaka lapuk - Gbr: Pribadi
Bahkan jodoh pun datang karena ketertarikannya pada tulisan bekas perjaka lapuk - Gbr: Pribadi
Di tengah situasi itulah saya mengenal Kompasiana. Tepatnya tahun 2009, kala "media keroyokan" ini masih "bocah". Saya pun bertingkah selayaknya bocah, jika ada yang mengkritik apa yang saya tulis maka seketika itu juga menghentakkan kaki, guling-guling, lalu menangis meraung-raung di tanah! (Anda coba bayangkan saja dulu aksi bocah ini).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun