Sebuah nama terpampang di berbagai media mainstream. Bukan karena prestasi, bukan karena suatu hal yang bermanfaat, melainkan kasus asusila yang seketika membuat nama tersebut melejit. Beberapa media pun menulis nama tersebut secara utuh hingga sampai ke almamaternya.
Publik layak mengkritisi hal itu, dari alasan kenapa harus menuliskan nama lengkap untuk hal-hal berbau asusila, hingga kenapa dirasakan perlu untuk menyebutkan almamaternya. Sedikitnya, ini memang telah menjadi kegandrungan, yang menjadi "dosa jurnalis" terlepas sengaja tidaknya mereka melakukan itu.
Dalam kode etik jurnalistik pun, memang ada satu poin yang tampaknya ditafsirkan serampangan: Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.Kasus asusila seperti ini tentu saja tak ada kepentingan publik terkait nama, terlepas mungkin pemberitaan tersebut ditujukan untuk menumbuhkan kewaspadaan orang tua, kalangan pendidik, dan berbagai pihak terkait. Sayangnya, penulisan nama lengkap pun tetap saja digandrungi, dan pelakunya adalah jurnalis yang notabene bekerja di media arus utama.
Ya, kode etik terkini itu sendiri terbilang baru lahir. Ia baru ada per 14 Maret 2006. Setidaknya telah ada 11 tahun sejak berbagai perusahaan media bersepakat, hingga dewan Pers pun menetapkan kesepakatan itu per 24 Maret 2006. Katakanlah kurang sosialisasi, semestinya siapa pun yang bergelut di bidang informasi tak sampai ketinggalan informasi terlebih berkaitan langsung dengan profesi sendiri.
Melihat gelagat dari kecenderungan yang ada, cukup membuktikan jika jurnalis pun bisa ketinggalan informasi, bisa lupa diri, dan tetap ada yang punya kecenderungan hanya menganut saja secara polos pada prinsip, "Jika anjing menggigit orang, itu bukan berita. Jika orang menggigit anjing, ini baru berita."
Itu lagi-lagi tercermin juga dalam urusan yang berhubungan cerita asusila hingga menyeret-nyeret kampus ternama, yang semestinya menjadi simbol peradaban dan intelektualitas, turut diremehkan dengan berita-berita seperti ini.
Padahal jika menilik lebih jauh pada apa yang tersurat, wartawan juga semestinya terikat dengan satu dari empat asas dari kode etik tersebut. Di antara asas itu adalah Asas Moralitas. Meskipun tak sedikit wartawan bertipe "nganu", tapi asas itu tetap menjadi suatu prinsip yang tak dapat disepelekan. "Media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan (Wina Armada sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers, 2007).
Berkaca pada kasus di Italia
Apakah "dosa jurnalis" seperti ini hanya terjadi atas pembuat berita atas kasus yang sedang viral tersebut? Tidak, bahkan blogger atau siapa pun yang berkutat pada aktivitas yang berhubungan dengan informasi dapat saja terseret ke sini, hatta jika Anda hanya menulis di jejaring sosial saja seperti Twitter atau Facebook.
Lalu apa konsekuensi lebih jauh terkait pemberitaan seperti itu? Di Italia, pernah terjadi kasus bunuh diri pada April 2015 yang dilakukan seorang perempuan berusia 31 tahun, persisnya di pinggiran kota Naples.