Hujan masih turun dengan deras. Seorang teman mengajak bersua di salah satu sudut Jakarta. Mustafa Ismail, namanya. Ia sudah puluhan tahun berkarier di dunia media.
Usia beliau memang jauh di atas saya. Pengalamannya, tentu lebih jauh lagi. Jauh, tapi ia dekat dengan satu sikap; rendah hati.
Teman seperti ini yang bikin saya tak terlalu memusingkan hujan dan macetnya kota ini. Saya pun bergegas menyelesaikan pekerjaan, dan bakda Isya meninggalkan kantor mendekat ke kantornya, di Tempo. Cuma, saya dengannya memilih satu warung di pojok Palmerah.
Setiba di sana, beberapa teman baru pun ternyata sudah menunggu. Ada Pilo, Tika, dengan Andri, yang ternyata juga sudah sangat familiar dengan Kompasiana.Â
Obrolan kami memang banyak berkutat seputar media. Selain membincangkan media masing-masing, Kompasiana menjadi pembicaraan yang juga tak terpisahkan.
Kenapa saya membicarakan Kompasiana di "sarangnya" wartawan Tempo. Bukankah yang satu di grup media lainnya, dan satunya lagi di grup media berbeda. Ah itu urusan perusahaan, sedangkan saya dengan mereka lebih berbicara selayaknya teman.
Jadi mengalirlah cerita demi cerita, termasuk cerita mereka yang--sejujurnya mengagetkan saya juga--keempat teman tersebut memiliki akun di Kompasiana.
Mereka berterus terang jarang aktif setelah membuat akun, karena berbagai alasan; kurang ide, sulit menjaga konsistensi, belum mampu menjadikan menulis sebagai kebiasaan, dlsb. Sejenak, jadilah saya sebagai "Duta Kompasiana" tak resmi--karena memang tak pernah ditunjuk melakukan ini.
Kebetulan tiga di antara mereka lebih muda, jadi Bang Mus--sapaan saya untuk Mustafa Ismail--justru lebih banyak memanjakan saya untuk berbicara. Jadilah saya "latah" membicarakan Kompasiana.
Kenapa Kompasiana jadi terbawa ke sana? Ya, lebih kurang delapan tahun "Ngompasiana" turut membuat kepala saya seperti tak mudah lagi untuk dipisahkan dengannya.Â