Di pertengahan Oktober, DKI Jakarta telah memiliki pemimpin baru. Anies Baswedan dilantik sebagai gubernur, dan Sandiaga Uno sebagai wakil gubernur. Anies berangkat dari latar belakang dunia pendidikan, dan Sandi dari kalangan pengusaha.
Di atas kertas, kolaborasi dua kutub latar belakang itu terbilang sangat ideal. Anies dapat menciptakan budaya yang memiliki ruh pendidikan, dan Sandi bisa melejitkan pola pikir dan tren yang membuka keran kesejahteraan.
Ya, mereka sama-sama punya rekam jejak terbilang istimewa di dunia karier masing-masing sebelum menghuni balai kota di kampung besar bernama DKI Jakarta. Hanya saja, tanda tanya pastilah muncul di benak banyak orang; apakah pengalaman mereka masing-masing akan berpengaruh pada terangkatnya kehidupan masyarakat di Jakarta?
Untuk saat ini, mereka belum sepekan menjabat. Langkah-langkah mereka belum cukup teraba.Â
Yang baru menonjol adalah pidato saat pelantikannya yang panjang dan bertele-tele hingga menuai protes lantaran menyinggung perihal sensitif yang terasosiasikan ke dikotomi pribumi-nonpribumi.
Soal pidato itu, semestinya lebih baik dibuat mirip kata pengantar di buku-buku saja. Artinya, apa yang ingin dilakukan, bagaimana bayangan "isi buku", hingga apa yang ingin diketengahkan dari buku tersebut. Sayangnya, pidato itu lebih mirip naskah "lomba pidato" yang bertabur kalimat indah, dan terlihat seperti seseorang sedang berkhayal menjadi presiden.
Ya, jamak diketahui, menjadi gubernur di provinsi sekelas DKI bisa menjadi tiket untuk menjadi presiden. Toh, Joko Widodo sendiri memang telah membuktikan itu.
Perbedaannya, Jokowi yang memang meninggalkan DKI di tengah jalan, tak sepenuhnya meninggalkan pekerjaannya. Sebab ia masih punya perpanjangan tangan pada sosok Basuki Tjahaja Purnama, seorang eksekutor yang memang tak punya kemampuan bermanis-manis bahasa seperti Anies.
Rencana Jokowi dan Ahok memang tak sepenuhnya tereksekusi, dan ini tak lepas dari kekuatan politik yang begitu tekun menciptakan riak hingga Ahok pun tumbang sebelum waktunya.
Djarot, terlepas juga telah bekerja sepeninggal Ahok, namun tak sepenuhnya bisa melanjutkan konsep yang diusung Jokowi-Ahok di awal mereka menjabat. Sebab, Djarot cenderung mendapatkan peran sebagai "figuran" dalam perjalanan visi diusung pasangan sebelumnya.Â