Seorang pemuka agama tampak semringah, menunjukkan wajah berseri-seri dikelilingi tiga istri. Foto kemesraan mereka tersebar di berbagai media, tak terkecuali media sosial.
Seketika jagat internet pun menjadikan hal itu bahan perbincangan, dari yang sekadar menjadikannya sebagai bahan candaan hingga ada yang mengulas serius.
Saya termasuk yang sempat menjadikannya sebagai candaan. Sedikit bermain-main satire, semisal, "Jika Anda hanya punya satu istri, tak usah iri pada yang beristri tiga."
Sekali lagi, itu hanya candaan.Â
Sementara di dalam kepala saya, berkelebat ingatan ke bacaan seputar sejarah raja-raja, kalangan bangsawan, dan pemuka agama di masa lampau.
Dari berbagai sejarah itu, muncul satu kesimpulan jika menikahi banyak istri itu menjadi semacam kebanggaan bagi lelaki, apa pun status sosial mereka.
Tak hanya buku sejarah, roman dalam negeri seperti Siti Nurbaya juga terbilang sangat menggambarkan bagaimana perempuan diposisikan sebagai simbol kebanggaan laki-laki. Bangsawan yang diwakili oleh sosok Datuk Maringgih, betapa terlihat begitu jemawa; dapat menikahi perempuan muda diinginkannya tanpa perlu memusingkan pantas tidaknya.Â
Pembenaran yang hampir selalu menjadi sandaran adalah agama. Sederhananya, jika agama memang membenarkan, kenapa pula harus memusingkan soal pantas tidaknya menurut pandangan sesama manusia.
Di situlah akhirnya para lelaki dapat tetap berbusung dada, "Hanya mereka yang iri saja yang mempersoalkan itu, karena mereka sendiri hanya dapat menikahi satu istri--dan satu saja sudah bikin mereka susah payah atau bahkan untuk bisa menikah saja mereka pontang-panting."
Pembenaran lain, seorang lelaki yang berpoligami dapat saja merasa bangga karena sebagian laki-laki lain hanya berani memanfaatkan jasa prostitusi. Bukankah poligami masih jauh lebih baik dan lebih bersih dibandingkan dengan memanfaatkan layanan prostitusi?