Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Akhir G30S dan Kesaksian Juru Ketik Supersemar

2 Oktober 2017   00:24 Diperbarui: 2 Oktober 2017   08:10 15279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara kata-kata Amirmachmud yang sangat diingat oleh Ali Ebram saat itu adalah kata-kata yang terkesan memaksa membikin surat yang belakangan dikenal dengan Supersemar, yang menjadi surat sakti atas kelahiran Orde Baru. "Sudah deh, Bapak itu masa tidak percaya kepada Angkatan Darat," kata Amirmachmud yang diingat Ali Ebram.

Dari kesaksian Ali Ebram juga, pada detik-detik tersebut di antara istri Soekarno yang ada di lokasi adalah Hartini, namun hanya berada di belakang, tidak turut menemui ketiga jenderal yang sedang menjalankan sebuah misi. "Bu Hartini di belakang. Di dapur, (beliau) tidak ikut menemui ketiga jenderal itu," cerita Ebram.

Saat proses pengetikan Supersemar itu sendiri, Soekarno mendikte isi surat kepada Ebram yang mengetiknya bertempat di kamar pribadi presiden pertama Indonesia tersebut. Menurut pengakuannya juga, Soebandrio dan Chaerul Saleh yang di banyak catatan lain disebut-sebut menemani ketiga jenderal, dipastikannya tak ada di lokasi. Hanya ada di istana, tapi bukan di paviliun di mana Soekarno bertempat bersama Hartini.

Sebagai juru ketik Supersemar tersebut, Ebram sendiri berterus terang tak mengingat lebih jauh tentang isi surat kecuali beberapa kata saja. "Ada disebut ajaran, koordinasi, terus laporan," kata bekas pasukan elite Cakrabirawa tersebut. Maklum, menurut pengakuannya, baru kali itulah ia mengetik surat resmi kepresidenan, dan di luar sangkaannya justru menjadi penanda kejatuhan Soekarno dan berkuasanya Soeharto.

Ada cluelain disebutkan tentang Supersemar yang diketik olehnya adalah adanya inisial namanya sebagai juru ketik, yakni YD atau Yosodiningrat, yang diakui sebagai nama tuanya. "Setiap surat resmi presiden waktu itu, selalu di akhirnya ada inisial pengetik," Ebram menggarisbawahi.

Ebram sendiri juga mengakui jika belakangan dia mengetahui pada Supersemar versi "resmi" justru tak ada inisial namanya. Namun, Ebram pun menegaskan tak ingin memusingkan itu. Terlebih, ia sendiri sempat ditahan hingga 12 tahun.

Hal lain yang juga diceritakan Ebram kepada Detak saat itu adalah Supersemar itu sendiri berisi dua halaman, karena satu halaman saja menurutnya takkan cukup. Terlebih sepanjang pengetikan itu berlangsung nyaris tak ada diskusi,  kecuali hanya pertanyaan sudah selesai diketik atau belum setelah Soekarno mendikte isi surat kepadanya.

Sebelum Soekarno menandatangani surat yang belakangan terkenal dengan sebutan Supersemar itu, menurut Ebram, Bung Besar tersebut sempat ragu menandatanganinya. Namun di tengah ia mencerna kalimat per kalimat sebelum ditandatangani, lagi-lagi Amirmachmud mengeluarkan kalimat bernada menekan. "Bapak tandatangani saja. Kenapa sulit-sulit!"

Belakangan, saat Soeharto berkuasa, Letkol Ali Ebram menghuni penjara, bersama beberapa perwira yang terkenal dekat dengan Soekarno yakni Kolonel Maulwi Saelan, Letkol (Pol) Mangil Martowidjojo, dan Letkol Soeprapto. Sedangkan Amirmachmud, Jusuf, dan Basuki Rahmat, sempat menjadi menteri saat Orde Baru berdiri. Meskipun dari ketiga tokoh kunci di balik hanya Basuki Rachmat yang tak sempat mencicipi kue kekuasaan rezim tersebut, lantaran ia meninggal dunia pada 9 Januari 1969, saat ia baru saja diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri.

Tak ada kabar lebih jauh, ke mana Ali Ebram saat ini? Apakah jika ia hidup lantas Supersemar akan berhenti menjadi misteri? Setidaknya kesaksian yang ia berikan, cukup menjadi alternatif atas bagaimana melihat sebuah rezim terlama berkuasa di republik ini. Sebuah rezim, yang nyaris dapat dipastikan, telah meninggalkan paling banyak "pewaris" di negeri ini, yang bahkan masih gemar memainkan isu komunis lantaran meyakini jika dulu "Sang Putra Fajar" yang berkarisma besar dan disegani dunia pun tumbang setelah isu itu menggurita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun