Dari masa perjaka hingga tak perjaka lagi, baru Senin dua puluh lima September dua ribu tujuh belas, saya dapat menyimak langsung acara berhubungan dengan BPJS. Itu pun karena kebetulan dirangsang ajakan Kompasiana untuk ikut, hingga saya berada di tengah belasan teman-teman yang berstatus Kompasianer, hari itu.
Maksud saya, memang dari sebelum menikah telah terdaftar sebagai pengguna kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun saat itu hanya mendapatkan penjelasan secara garis besar dari tim haerdedi kantor di mana saya bekerja. Dari sederet penjelasan, yang paling melekat di ingatan saya cuma dua hal saja; bahwa semua biaya rutin untuk membayar iuran rutin ditanggung oleh perusahaan saya bekerja, dan dengan kartu yang ada dapat digunakan saat sakit.
Ya, sesederhana itu saja perkenalan saya dengan JKN sebagai produk dari Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS).
Sejujurnya, sejauh ini belum pernah saya gunakan. Dalam arti, sekian tahun menjadi penggunanya, belum pernah mengalami sakit yang memaksa saya harus menyulap rumah sakit menjadi hotel untuk menginap. Ya, mudah-mudahan sihjangan sampai sakit seperti itu, cukuplah sakit hati di masa perjaka saat merasa tak kunjung menemukan jodoh.
Lupakan soal sakit hati di masa lajang saya itu, walaupun saya sendiri belum cukup bisa melupakannya (maaf, curhat).Sebab ada cerita soal "kesembuhan", yakni sembuh dari kecenderungan adanya tudingan bahwa "produk pemerintah" cenderung lambat, bertele-tele, njelimet, dan sekian tudingan beraroma penistaan lainnya.
Kelebihan dari JKN itu sendiri sejauh ini baru dari pengalaman seorang teman saja di media saya bekerja. Saat istrinya akan melahirkan, dan situasi mengharuskan bedah caesar, sedangkan tabungannya masih di bawah angka dibutuhkan, tapi ia tak lagi harus dipusingkan. "Cuma perlu menyelesaikan beberapa administrasi dibutuhkan, istriku bisa melahirkan tanpa persoalan, Bro,"kata Dillah, teman sekantor, saat itu.
Hanya begitu. Artinya, tak ada informasi yang terlalu dekat dengan saya, kecuali sekadar dari inisiatif melakukan browsing,dari apa itu BPJS? Apa yang membedakannya dengan JKN? Lalu apa saja kemudahan yang diberikan? Sekadar terjawab dari seberapa kemampuan mata menatap layar komputer. Sudah.
Lagi-lagi, baru saat Kompasiana mengundang para Kompasianer ke acara yang bertempat di Sinou Kafe itulah, sedikit banyak saya mendapatkan berbagai cerita langsung dari mereka yang menjadi "otak" di balik JKN. Dari sana saya jadi lebih tahu, oh program JKN-KIS tersebut telah diikuti hampir 200 juta jiwa. Jika merujuk pada reportase yang pernah diturunkan Tirto.id,memang disebutkan bahwa pemanfaatan kartu JKN-KIS saja secara nasional telah mencapai 177,8 juta.
Manfaat lebih jauh, merujuk data dari Tirtojuga menyebutkan efek dari program JKN-KIS yang dikatakan meningkatkan angka harapan hidup masyarakat Indonesia hingga 2,9 tahun. Tak berlebihan bukan jika acara dibikin Kompasiana di hari itu menarik minat saya dan juga teman-teman terpilih untuk hadir di sana.
Ya, BPJS terlihat punya iktikad untuk lebih memberikan kemudahan kepada para pengguna. Maka itu mereka pun menciptakan aplikasi, yang memang jadi lebih memudahkan, dan dapat mengantisipasi berbagai kesulitan yang mungkin dialami sebagian penggunanya. Terlebih lagi, JKN-KIS pun saat ini terbilang paling membetot perhatian publik, lantaran memang cenderung dapat menjawab akses masyarakat atas kesehatan tanpa perlu mengucurkan uang jumlah besar saat kondisi terdesak.
Tak heran jika animo masyarakat Indonesia untuk menjadi peserta BPJS terbilang tinggi. Partisipasi ini juga telah mendapatkan apresiasi besar dari berbagai kalangan. Tercatat, Joint Learning Network Country Core Group Indonesia, lewat ketuanya, Prof Ali Ghufron Mukti, menyebut jika JKN-KIS jauh lebih baik dibandingkan program sekelas yang juga diterapkan beberapa negara Asia lainnya.