Hoaks alias kabar bohong atau berita tak jelas kebenarannya, secara tafsir bebas, ibarat tinja menjijikkan namun dimanfaatkan sebagian orang untuk menjadi 'pupuk'.
Itu hanya analogi atau sekadar perumpamaan. Sedangkan riilnya, tinja kalah menjijikkan dibandingkan hoaks. Kenapa? Lantaran hoaks berpengaruh langsung pada akal, pikiran, nalar, sudut pandang, hingga ke tindakan.
Bayangkan lagi jika hoaks lantas dikawinkan lagi dengan hal-hal berbau religi, maka jika dialihkan analogi laiknya bom, daya ledaknya jauh lebih tinggi.
Belum lagi, banyak yang termakan anggapan, terlalu berpikir kritis mendangkalkan iman. Hasilnya, dalam kaitan dengan hoaks, ketika ia dikawinkan dengan hal-hal berbau religi, maka akan banyak yang memilih tak perlu mengkritisinya lagi. Seperti belum lama terjadi, seorang mantan menteri yang pernah membawahi Kementerian Komunikasi dan Informatika saja bisa terjerat olehnya.
Itu seorang menteri yang konon lagi pernah memimpin sebuah kekuatan politik, dan masih memiliki pengaruh di salah satu partai politik. Ada berapa banyak kepala yang terpengaruh, karena karismanya, karena meyakininya sebagai figur "super", atau lagi jika ia sudah dicitrakan secara kuat sebagai tokoh agama.
Itu hanya sebagai contoh. Saat seseorang, terutama mereka yang berdiri di posisi sebagai tokoh, membuat pengikut memilih untuk tidak "membuang waktu" menelaah, kecuali menelannya saja mentah-mentah.
Ini berisiko. Risiko awalnya adalah merusak pikiran, merusak nalar, merusak sudut pandang. Ia mengaburkan realita, mengaburkan fakta, dan lebih-lebih dapat membawa pada kaburnya kesimpulan. Tindakan, acap dipengaruhi langsung oleh kesimpulan ini.
Jadi, di situlah efek demi efek dari hoaks akan mengejawantah. Ia dapat menjadi senjata pemusnah massal, yang dapat saja dimiliki kelompok politik yang impotensi namun masih berberahi tinggi, atau bahkan dijadikan senjata bagi kalangan putus asa pada bagaimana menjaga asap dapur tetap dapat mengepul; menjadikannya bom curah untuk merebut "sumur-sumur minyak" yang ada di ladang-ladang para politisi, para penjual agama, dan mereka yang memang tak punya senjata lain kecuali hoaks ini.
Tak heran, jika boleh menuding, hal-hal berbau hoaks ini lebih akrab dengan kalangan yang bermain atau memiliki kedekatan dengan lingkaran politik. Dalam politik, bukan rahasia jika "black campaign" acap diimani sebagai senjata tanpa bentuk namun dapat menikam lawan-lawan mereka. Tak heran jika kalangan disebut tadi, paling getol memanfaatkan hoaks sebagai bagian peluru pembunuh lawan.
Di Indonesia, hoaks pun bukan cerita baru. Dari zaman negeri ini masih bernama Hindia Belanda saja, hoaks acap dimanfaatkan sebagai senjata. Hanya saja, hoaks sendiri memang lebih diidentikkan dengan zaman ketika internet telah menjadi menyatu dengan masyarakat dunia.
Di internet, siapa pun dapat membawa kabar, bisa menyampaikan informasi, meski pemberi informasi dan penerima tak saling kenal sama sekali. Di sini, ketika sesuatu disebar dinilai memenuhi gambaran sebuah kepentingan atau ada sesuatu terwakili, acap disambar begitu saja.