Negeri yang dulu bernama Hindia Belanda dan kini terkenal dengan Indonesia, sejak zaman kolonial dari berbagai penjuru dunia orang berdatangan untuk mencari dan mendapatkan sesuatu dari negeri ini. Kita yang lahir dan hidup di negeri ini dapat memilih, melanjutkan ambisi kolonial atau berbakti selayaknya seorang anak kepada ibunya, Ibu Pertiwi.
Ibarat hubungan anak dengan ibunya, ya, kita memang pernah mereguk susunya, hidup dari keringat dan darahnya. Idealnya, fase itu cukuplah terhenti ketika kita sedang tak berdaya, tak bisa apa-apa, belum tahu apa-apa.
Eh, sekarang, saya dan juga Anda yang terdidik di bangku sekolah atau digembleng oleh pengalaman, semestinya telah cukup terbuka mata; belajar tak hanya menangguk apa saja dari "sang ibu" atau mengisap darahnya hingga kurus kering, melainkan perlu untuk membalas air susu sang ibu.
Lalu apa yang sudah saya sendiri sudah berikan untuk negeri ini? Tak banyak, belum sebombastis Soekarno, Sudirman, Tan Malaka, di era revolusi. Apalagi mereka pun mempertaruhkan nyawa mereka justru agar tak ada lagi kematian sia-sia. Juga, saya juga belum mencatat dedikasi seperti B.J Habibie dengan impiannya di dunia teknologi yang terealisasi sekuat tenaganya, belum setangguh Susi Pujiastuti yang menjadi perempuan perkasa menjaga lautan milik Ibu Pertiwi.Â
Saya sendiri baru memberi dari apa yang saya bisa; lewat pikiran, lewat tulisan. Terutama berbagi sudut pandang, yang bahwa ada banyak hal dapat dibela dengan tulisan; tentang mereka yang terzalimi meski berbeda suku dan agama. Juga ada banyak hal ditunjukkan ke muka dunia, bahwa negeri ini, Ibu Pertiwi ini, memiliki banyak hal membanggakan.
Sebut saja dengan pilihan untuk tetap ber-Kompasiana sepanjang delapan tahun terakhir, di sini saya merawat semangat belajar, di sini juga saya berbagi; dengan membela mereka yang perlu dibela karena terzalimi lantaran status minoritas mereka, mendukung calon pemimpin terbaik dari yang ada agar Ibu Pertiwi ini tak makin kurus kerontang diisap anak-anak rakus yang hanya tahu mengambil tanpa terpikkr memberi.
Saya akan mengatakan, jangan meremehkan pemberian lewat tulisan. Di masa lalu, ketika revolusi masih menjadi aroma keringat sang Ibu Pertiwi, peluru-peluru menumbangkan tubuh penjajah, dan berbagai tulisan mampu menumbangkan kezaliman kolonial; lewat slogan, propaganda, hingga isi pikiran mencerahkan yang dibagi lewat selebaran atau sekadar tulisan lepas.Â
Hatta, Soekarno, Tan Malaka, Syahrir, dll, tak memilih jalan berdarah-darah meski tetap bertaruh nyawa dan bahkan sempat mendekam di penjara. Mereka bekerja lewat pengaruh pikiran dan kata-kata, selain acap muncul lewat pidato, tapi juga acap menulis.
Di sana mereka mentransfer pikiran dan semangat merdeka. Saya, dan mungkin juga seabrek penulis di Kompasiana atau melalui media mana saja, bekerja lewat cara ini, berusaha memberi dengan menulis.
Lewat ini, kita yang memilih menulis mungkin tak menciptakan sesuatu bersifat fisik seperti pesawat, bangunan megah, dan hal terlihat mata. Tapi lewat jalan ini, kepenulisan, kita bisa turut merawat Ibu Pertiwi, sebagai bagian ikhtiar untuk memberi.Â
Lewat inilah kita memberi untuk negeri ini, setidaknya tak ada lagi saling menzalimi atau saling membodoh-bodohi.Â