Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mereka yang Bertahan Lebih dari 250 Tahun

30 Juli 2017   15:15 Diperbarui: 30 Juli 2017   20:28 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyimak penjelasan kepala pabrik Faber-Castell Indonesia di Cibitung - FOTO: @zoelfick

"Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once we grow up."

Ya, setiap anak sejatinya adalah seniman. Persoalannya adalah bagaimana seseorang tetap menjadi seniman hingga ia kelak dewasa. Begitulah kira-kira terjemahan bebasnya. Itu bukan kata saya, tentunya. Itu adalah kalimat milik Pablo Picasso, pelukis yang namanya abadi hingga kini berkat kemahirannya dalam melukis.            

Kalimat itu saya dapat lagi ketika berkunjung ke Pabrik Faber-Castell, 11 Juli lalu di Cibitung, beberapa pekan lalu. Sempat menjelajah ke sekeliling pabrik, mendengarkan pemaparan dari pengurus perusahaan itu, hingga menyaksikan bagaimana mereka bekerja, termasuk mendapatkan penjelasan seperti apa mereka mendudukkan diri tak hanya sebagai "produsen" atau "penjual".            

Ya, di antara hal paling menarik perhatian saya adalah kokbisa sebuah perusahaan bisa mendunia hingga bertahan ratusan tahun. Selain itu, bagaimana mereka menjadikan perusahaan tak hanya untuk "mencari uang", melainkan juga bagaimana mereka juga bisa berbagi.            

Pesan tersirat dari membaca profil Faber-Castell, hingga mendengar sendiri penjelasan dari "orang dalam" perusahaan tersebut saat berkunjung ke sana, adalah bagaimana menjadikan sesuatu tak hanya sekadar untuk "mendapatkan" tapi juga pada bagaimana "memberi". Ringkasnya, sekadar mengambil, tanpa pendidikan tinggi dan inteligensi tinggi juga pasti mampu dilakukan. Namun untuk memberi, di sini ada sesuatu yang bahkan lebih dari inteligensi; kekuatan mengalahkan diri sendiri, dan keinginan kuat membuat dunia lebih berwarna.    

Saat berada di ruang pertemuan dengan pihak Faber-Castell Indonesia - FOTO: @zoelfick
Saat berada di ruang pertemuan dengan pihak Faber-Castell Indonesia - FOTO: @zoelfick
Ini juga tercermin dari bagaimana Faber-Castell melahirkan produk mereka. Tak hanya sekadar, "Kita bikin suatu produk, yang penting dapat diterima pasar. Cukup." Bagi mereka, sekadar penerimaan ternyata tak cukup. Ada keinginan memberi lebih, dan itu terlihat dari bagaimana mereka merumuskan konsep agar dapat membawa hasil lebih dari "asal laku di pasaran". Logis, sebab jika sekadar laku, penjual arang pun hingga detik ini masih bisa membuat dagangannya laris di pasaran.            

Nah di situlah saya menemukan satu campaign yang menarik mereka lakukan. Terlepas itu mungkin tak lepas juga dari marketing-strategy,namun mengingat impactyang bisa dihasilkan, maka langkah pemasaran begini layak disebut menginspirasi.            

Sebut saja dengan kegiatan "Connector Pen Challenge", yang lebih tertuju membuat orang tua dan anak dapat lebih menyatu. Pasalnya kegiatan itu memang melibatkan anak dan orang tua sekaligus. Campaign ini ternyata berangkat dari prinsip yang mendidik, bagaimana membuat waktu tak terhabiskan begitu saja, melainkan terhabiskan untuk hal yang lebih baik.            

Shadia, 2 tahun, si kecil yang gembira dengan kado dari Faber-Castell, buah tangan dari kunjungan ayahnya ke Cibitung - FOTO: @zoelfick
Shadia, 2 tahun, si kecil yang gembira dengan kado dari Faber-Castell, buah tangan dari kunjungan ayahnya ke Cibitung - FOTO: @zoelfick
Bukan rahasia jika kesibukan dan segala rutinitas kerap bikin orang tua abai atas bagaimana memberi waktu untuk anak. Ini bukan saja mungkin terjadi pada orang lain, melainkan saya pun acap abai bagaimana memberikan porsi waktu yang tepat untuk si kecil. Walaupun, sedikit bercerita ke prinsip pribadi, terlepas kesibukan di kantor dan pekerjaan di luar kantor sangat menyita waktu, selain setiap harinya berusaha tetap dapat memberikan waktu untuk anak, di akhir pekan pun selalu memastikan memberikan waktu hampir sepenuhnya untuk anak---kecuali ada kondisi yang betul-betul sangat mendesak.   

Membaca, menulis, dan kegiatan mewarnai, menjadi bagian rutinitas yang acap saya lakukan dengan anak saya sendiri, Shadia (2 tahun). Setidaknya, dalam usianya yang masih batita, Shadia mulai mengakrabi aktivitas tulis menulis hingga mewarnai. Meskipun "hasil karya" dia di usianya saat ini lebih banyak coret-coretan, tapi terkadang ia terlihat berusaha keras menggambar sesuatu dan mendefinisikannya dengan, "Ini burung, ini pesawat, ini kupu-kupu..." dan mengapresiasinya.

Sebagai seorang ayah, saya pribadi melihat produk yang dihasilkan oleh Faber-Castell, memang tak hanya sekadar sesuatu yang hanya sekadar barang jualan pihak produsen. Melainkan ini merupakan suatu "senjata" yang dibutuhkan untuk melatih anak dalam mengenal warna hingga mengakrabkannya dengan seni. Saya memberinya pensil hingga pulpen, setidaknya untuk membantu tangannya terlatih dengan cepat dengan benda itu.

Belajar dari pengalaman pribadi juga, betapa, keakraban di masa kecil dengan pensil hingga pulpen mengakrabkan saya dengan aktivitas tulis-menulis. Dari awalnya hanya coret-mencoret di masa balita, mampu menulis, hingga bekerja pun tak jauh dari tulis menulis--walaupun pilihan mengakrabkan anak dengan benda-benda terkait itu bukan berarti agar anak harus mengikuti profesi bapaknya sebagai jurnalis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun