Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mereka yang Bertahan Lebih dari 250 Tahun

30 Juli 2017   15:15 Diperbarui: 30 Juli 2017   20:28 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shadia, 2 tahun, si kecil yang gembira dengan kado dari Faber-Castell, buah tangan dari kunjungan ayahnya ke Cibitung - FOTO: @zoelfick

Terpenting bagi saya sebagai seorang ayah, lewat alat-alat semisal alat tulis, membuat anak bisa mengenal dirinya dan apa yang bisa dia kembangkan. Seperti juga pernah saya catat di Instagram pribadi, yang lebih saya pentingkan bagi anak bukanlah sekadar ia mengenal segala hal, tapi lebih penting lagi ia mengenal yang terdekat dengannya lebih dulu, dan itu adalah dirinya sendiri; sebab di dalam dirinyalah terdapat semua yang kelak dapat digunakannya untuk menghadapi hidup dengan semua tantangannya. Sederhananya, jika ia asing dengan apa yang ada di dalam dirinya, tentu saja tak dapat berharap terlalu jauh bahwa ia bisa menggali dan menemukan potensi di dalam dirinya.

Menyimak penjelasan kepala pabrik Faber-Castell Indonesia di Cibitung - FOTO: @zoelfick
Menyimak penjelasan kepala pabrik Faber-Castell Indonesia di Cibitung - FOTO: @zoelfick
Penggunaan alat tulis seperti pensil hingga krayon, saya nilai bukan sekadar membantu anak mengenal warna, tapi lagi-lagi agar ia lebih mengenal banyak hal yang lebih jauh lagi dan yang paling penting mengenali diri. Selain, ketika ia akrab dengan banyaknya warna, kelak ia dapat menangkap pesan jika hidup ini menjadi indah justru karena bersedia membuka diri atas berbagai "warna" hidup yang memang diberikan Tuhan tak hanya satu warna saja.

Keyakinan saya juga--masih sedikit bercerita perspektif pribadi--ketika seorang anak lebih mengenal banyak warna, kelak ketika ia menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan pemecahan, dia sudah akrab dengan sudut pandang; bahwa hidup menyajikan banyak pilihan, dan warna terindah hanya terjadi ketika seseorang tak hanya terpaku pada "satu warna".         

Kembali ke campaign diusung Faber-Castell, pendekatan mereka lewat cara-cara edukatif itu, menjadi hal paling menarik perhatian saya. Dan itu bukanlah sesuatu yang baru mereka kerjakan. Sebut saja program Workshop Guru, Faber-Castell membawa manfaat hingga menjangkau 5 ribu peserta, yang menyentuh guru di tingkat Taman Kanak-Kanak hingga sekolah dasar. Itu angka per tahun, dan tentu saja sangat layak diapresiasi jika dalam 17 tahun terakhir saja hal itu dilakukan secara rutin.            

Dalam catatan di buku "Jejak Inspirasi, Membangun Generasi Melalui Kreasi", tercatat jika pada 2015 saja menjangkau seluruh Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga Papua. Tak hanya menyasar kawasan yang mudah diakses, Faber-Castell juga merambah hingga ke pelosok dan perbatasan.            

Menariknya lagi, pada 2011 misalnya, saat Ulang Tahun ke-250, mereka juga menghelat program Lomba Gambar dengan hadiah wisata ke luar negeri. Tak heran jika saat itu saja, tercatat 36.798 anak dari 31 kota di Indonesia---dari tingkat TK hingga SD---ikut ke lomba tersebut, dan berwisata ke Stein, Jerman.            

Tak kurang halnya pada 2014, mereka juga mengadakan Lomba Gambar Nasional Faber-Castell, yang diadakan di 92 kota di seluruh Indonesia. Saat itu terdapat peserta hingga 62.256 anak. Saat itu pemenang mendapatkan hadiah wisata ke Tembok Besar Tiongkok. Program ini sendiri masih dilakukan hingga kini. Tak heran jika Museum Rekor Indonesia (MURI) pun mengganjar Faber-Castell dengan penghargaan sebagai penyelenggara gambar terbanyak di Indonesia, terutama saat diadakan di 100 kota di seluruh Indonesia per September2013 hingga April 2014.     

Tentu saja, dari catatan sebagian kegiatan Faber-Castell itu cukup menunjukkan adanya dedikasi yang tak lepas dari rekam jejak mereka sejak awal berdiri. Ya mereka telah lahir sejak 1761, dengan sosok Kaspar Faber tercatat sebagai pendirinya, di Stein-Nuremberg, Jerman. Lantas perusahaan itu berubah nama, ternyata tak lepas dari pernikahan salah satu anggota keluar Faber, Baroness Ottilie von Faber dengan Count Alexander zu Castell-Rudenhausen.

Saat Kompasianer juga mendapatkan ajakan bereksplorasi dengan warna - FOTO: @zoelfick
Saat Kompasianer juga mendapatkan ajakan bereksplorasi dengan warna - FOTO: @zoelfick
            

Usia perusahaan itu yang kini lebih dari 250 tahun membuat mereka menjadi perusahaan alat tulis terbesar sekaligus tertua di dunia. Ada 25 kantor perwakilan di seluruh dunia, selain juga memiliki 14 pabrik di 10 negara, namun wilayah distribusi menjangkau 120 negara, dan mempekerjakan 7 ribu karyawan.            

Patut dicatat, di Indonesia sendiri, mereka sudah bekerja sejak 1999 lewat PT Faberindo Perkasa, dan pada 2005 diambil alih Faber-Castell dan berganti nama menjadi PT Faber-Castell International Indonesia. Di dalam negeri, ada tujuh perwakilan yang berada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Samarinda---di samping pabrik marker yang ada di Cibitung, Jawa Barat.            

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun