Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fadli Zon dan Tanda Tanya Seorang Rakyat

10 Juli 2017   06:50 Diperbarui: 12 Juli 2017   13:27 4792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi salah satu wakil rakyat - Dok: Pribadi

Halo Pak Fadli Zon, betulkan dulu kacamata Anda. Media sosial itu hari ini menjadi kanal rakyat berkomunikasi dengan siapa saja, terutama wakil rakyat yang selama ini terlihat lebih mementingkan untuk menggemukkan badan saja alih-alih melakukan sesuatu yang berguna untuk rakyat.

Jadi kritikan saya via Twitter itu karena merasa itu bagian hak saya sebagai rakyat. Toh, Anda sering sesumbar soal demokrasi, soal hak rakyat, soal keharusan pejabat negara mendengarkan suara rakyat, bukan?

Masa Anda hanya mendukung jika rakyat itu hanya mengarahkan kritikan kepada lawan politik Anda saja. Ini bukan mental wakil rakyat, tapi lebih tepat menjadi pengamen saja; yang lain harus diam, dan Anda menyanyi sesukanya tanpa peduli orang suka atau tidak dengan nyanyian Anda.

Jika rajin melemparkan kritikan tapi diri sendiri berkuping tipis, namanya tidak siap. Bagaimana bisa bicara demokrasi, jika dalam menerima kritikan yang tertakar saja Anda tidak kuat.

Ya, saya sebagai rakyat pun mengkritik Anda tetap dalam takaran. Pedas, tapi dengan tingkat kepedasan yang lebih dulu saya icip sendiri, barulah saya hidangkan kepada Anda.

Artinya saya adalah salah satu rakyat yang tak sampai hati mengkritik Anda terlalu sadis. Belum pernah, misalnya, saya mengkritik sampai membuat meme yang menunjukkan Anda sedang melakukan tindakan tidak senonoh dengan istri atau perempuan di lingkaran partai Anda. Sebab, sebagai rakyat yang masih waras, saya masih melihat ke diri sendiri, bagaimana jika saya diperlakukan begini.

Sedangkan tempo hari, Anda pernah tampil bak pahlawan saat salah seorang rakyat mengunggah gambar tidak beretika tentang presiden. Anda membela si pengunggah meme tersebut dan berujar jika presiden terlalu sensitif jika karena gambar itu saja merasa tersinggung--padahal tak ada pernyataan presiden yang mengaku tersinggung karena masalah itu.

Yang seperti dilakukan lewat meme itu Anda kesankan sebagai kritikan biasa, dan itu wajar dalam demokrasi. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Anda jika saya latah mengkritik Anda dengan membuat meme serupa itu. Mungkin saja Anda tak hanya memblokir akun media sosial, tapi mungkin akan mengerahkan "sejuta umat" seperti yang Anda bonceng selama ini. Itu kecurigaan saya sih, anggap saja "suuzhon" saja sebagai rakyat.

Saya menolak cara melemparkan kritikan dengan hal-hal berbau keji dan melecehkan martabat sebagai manusia. Maka itu, saat saya melempar kritikan lewat media sosial pun, saya memilih cara pedas, tapi tetap saya ukur.

Lha, sayangnya cara saya melemparkan kritikan tampaknya cukup membuat Anda tersinggung. Apakah saya memang harus meniru pelempar kritik yang pernah Anda bela?

Cara itu jelas tidak mendidik. Demokrasi sehebat apa pun tak lantas membenarkan kritikan dengan cara merendahkan martabat sebagai manusia--bukan martabat anggota dewan saja. Jadilah saya memilih mengkritik lewat media sosial meski tidak mem-follow Anda, dan lewat kalimat-kalimat murni kritik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun