Di antara berbagai macam rumah, hanya satu rumah paling tidak diimpikan siapa pun. Itu adalah rumah tahanan (Rutan). Tapi di sanalah pada Kamis 7 Juli saya berada.
Tentu saja, saya bukan penghuni tempat ini. Tapi ke sana hanya untuk melihat kerabat yang tersandung kasus narkotika. Di usianya yang telah memasuki angka 50-an, dengan kasus serius menjeratnya, nyaris dipastikan sebagian besar sisa hidupnya akan dihabiskan di tempat ini.
Rutan I Tangerang. Terletak di tempat yang dapat dikatakan terpencil. Untuk ke sana, dari Stasiun Daru, hanya bisa mengandalkan ojek konvensional dengan tarif Rp 20 ribu.
Jalanan ke Rutan itu pun hanya jalanan kampung. Tidak beraspal. Ada genangan air di banyak tempat, dan perumahan penduduk pun masih terbilang jarang.
Di Rutan itu juga saya berkesempatan berkenalan dengan petugas yang kebetulan sama dengan saya, seorang beretnis Aceh. Putra namanya, terkenal sebagai "algojo" di Rutan tersebut.
Putra yang banyak berbicara dengan saya perihal lika-liku di Rutan tersebut. Terlepas ia menjadi orang paling ditakuti para tahanan di sini, tapi ia lumayan bersahabat.
Putra menunjukkan beberapa orang tahanan yang sedang lewat persis di dekat pos penjagaan yang juga berada di sisi tempat untuk para pengunjung Rutan.
Di sana, para kriminal yang biasanya sangar dan kasar, di sini terlihat santun dan nyaris tak ada yang bersemangat. Tak ada pelaku kriminal yang menunjukkan dirinya sebagai figur gagah dan ditakuti lagi, kecuali petugas Rutan sendiri.
"Saya sendiri di sini memang ditunjuk sebagai 'pendidik', terutama bagi tahanan yang baru masuk," Putra bercerita tentang perannya di dalam Rutan itu.Â
Tiap ada beberapa yang lewat, melintas di depan kami, yang berdiri di bawah sebatang pohon dekat pos pengawalan pengunjung ia acap menunjuk siapa kriminal tersebut dan apa kasusnya.