Orang-orang seperti polisi itu memang acap dinilai sebagai makhluk langka di tengah zaman yang kian diidentikkan dengan era kembalinya hukum rimba; yang berkuasa maka berkuasa melakukan segalanya. Mereka memilih kembali kepada nurani. Kekuasaan, sebesar apa pun hanyalah jembatan untuk makin besarnya kesempatan melakukan kebaikan; bukan kesempatan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Ini memang berkaitan juga dengan mental. Banyak yang menerjemahkan urusan mental melulu berkaitan dengan kemampuan menahan pukulan dan tekanan, tapi masih ada yang mampu melihat bahwa ketika godaan sewenang-wenang terbuka lebar untuknya maka itu juga kesempatannya menunjukkan dirinya mampu menguasai diri.
Power tends to corrupt. Bagi mereka sukses diubah menjadi kekuasaan sebagai peluang melakukan kebaikan.
Kesempatan membawa manfaat tentu saja bukan hanya peluang bagi mereka yang berpangkat dan berada di posisi abdi negara atau mereka yang memiliki profesi yang "wah" saja. Toh, Anda pasti tidak lupa, betapa di salah satu kota, seorang bapak yang telah tua yang bekerja hanya berbekal gerobak, justru menjadi pahlawan.Â
Ia menjadi pahlawan karena mencaei jalanan berlubang, dan dengan uang dan tenaganya sendiri menambal lubang-lubang itu. Â Mereka itu menjadi pahlawan justru saat mereka sendiri tak berpikir untuk disebut pahlawan. Mereka hanya bergerak dan tergerak, manfaat apa yang bisa mereka berikan untuk banyak orang.
Ya, itulah yang berkelebat di benak saya sepanjang jalanan sepanjang Lebaran ini. Melihat polisi di sepanjang jalan, bekerja tanpa lelah, berdiri di pinggir hingga tengah jalan; menghirup asap kendaraan, di bawah matahari yang membakar.
Mereka yang dihormati memang bukan karena institusi, tapi karena mereka bekerja dengan nurani.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H