Jakarta tak hanya menjadi ibu kota, tapi ia benar-benar berperan selayaknya ibu. Ketika anak-anaknya gelisah, ia memanggil anak-anak itu dan mendekapnya; menyusui, mendidik, hingga membesarkannya.
Itulah Jakarta. Tapi ia juga ibu paling sering diludahi oleh anak-anaknya sendiri. Dia pun paling sering dipermalukan anak-anaknya sendiri.
Selayaknya ibu, Jakarta terkadang menangis bersama sebagian anak-anaknya yang cacat, yang tidak berdaya, dan diinjak-injak saudara seibu. Ia tak bisa tertawa, terlebih usianya pun kian menua.
Sudah berbilang abad, bukanlah usia muda bagi seorang ibu. Tenaganya rapuh, tulang belulangnya melemah, ia juga kian berkeriput.Â
Sayangnya, sedikit yang terpanggil membelai wajah tuanya dengan cinta. Lebih banyak yang hanya memburu warisan yang disimpannya di lemari-lemari pusaka.
Demi warisan itu jugalah anak-anak ibu yang kian tua itu saling menginjak, saling mengejek, saling menghantam, hingga saling membunuh.
Terkadang, pembunuhan itu terjadi di tengah keramaian. Terkadang, pembantaian berlangsung di tempat-tempat sepi.Â
Ibu itu sendiri memang telah tua, tangannya tak kuat mencegah anak-anaknya saling menikam. Ia ingin meronta dan berteriak agar jangan membunuh, jangan membantai, jangan merampas.
Tubuh tuanya terlalu ringkih. Tulangnya telah kian rapuh. Ia lekas merasa letih, meski ia memaksa diri tetap memberikan cinta tanpa letih.
Semua anak yang datang padanya disambut dengan tangan terbuka. Jika lemah, ia memberi petuah bagaimana agar anak itu kuat. Jika tak memiliki apa-apa, dia mengajari bagaimana bekerja.
Jakarta itu ibu yang terlalu baik. Tapi ada juga sebagian anak yang mencitrakan sang ibu sebagai yang mahakejam. Mereka menunjukkan cerita kematian mengenaskan hingga penyiksaan yang tak berampun.