Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jakarta, Seorang Ibu yang Makin Menua

23 Juni 2017   04:04 Diperbarui: 23 Juni 2017   11:01 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal yang menyiksa dan membunuh itu adalah anak-anak itu sendiri. Lalu sang ibulah yang dituding telah kejam.

Ketika ada pisau yang menghujam ke satu tubuh, pisau itu dikabarkan milik sang ibu. Ibu ini pun hanya bisa mengalirkan air mata, tanpa suara.

Suaranya telah hilang oleh keriuhan anak-anak itu sendiri. Entah yang ribut karena  lahan parkir, yang ribut karena berbeda cara berpikir, hingga yang ribut agar ada yang tersingkir.

Terkadang ibu itu menangis, dengan air mata yang memang menjadi banjir. Saat sebagian anaknya bekerja meredakan tangisnya, anak lainnya hanya bisa memaki dan mencibir, dan mempersetankam apakah ibunya bisa tersenyum atau selamanya menangis.

Ibu itu menangis di pojok-pojok rumahnya. Setelah ia menyusui, mendidik, hingga membesarkan; anak-anak itu lebih memilih membesarkan nama sendiri dengan keculasan, keserakahan, dan beribu koleksi topeng. 

Mereka pasang badan sebagai orang suci, di saat yang sama mereka menghardik sang ibu, mencabik-cabik pakaiannya hingga nyaris telanjang; kedinginan, kepanasan, tanpa ada banyak tangannya yang memeluknya selayaknya ibu yang dipeluk anak-anaknya dengan cinta.

Jakarta memberi segalanya, entah anak-anak terbaiknya atau bahkam anak paling lemah sekalipun, ia mengusap mereka dengan cinta. Terkadang mereka menghinanya dan menginjak-injak namanya, ia berusaha tersenyum dengan wajah keriput, dan tatapan yang makin melemah.

Anak-anak itu lebih banyak yang hanya berharap pada isi lemari di kamar-kamar rumahnya. Tapi mereka kerap abai, bagaimana membalas cinta sang ibu dengan cinta terpantas ketika ia kian menua.

Anak-anak itu adalah kita; yang setiap hari tertawa, berpesta, dan berburu segalanya. Anak-anak itu adalah kita, yang makin lupa bagaimana berterima kasih, dan merawat sang ibu yang kian tua.

Ibu itu tak berharap apa-apa, kecuali ingin dirawat dengan cinta; dipeluk dengan kasih sayang. Ibu itu, sekali lagi, bernama Jakarta. Beri ia cinta, meski ia tak meminta-minta.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun