Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Gita Rambah Jerman, Kenalkan Pijat Tradisional ke Magdeburg

1 April 2017   11:14 Diperbarui: 4 April 2017   16:21 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang perempuan tak bisa berkeliling dunia dan tetapdiperhitungkan meski berada di belahan dunia manapun? Itulah yang ingin dijawab oleh wanita bernamaGitanyali Dayinta Ratitia, perempuan Indonesia tulen, berdomisili di Magdeburg Jerman dan bahkan masih ingin melakukan sesuatu untuk negara asalnya, Indonesia. Mengenalkan pijat tradisional Indonesia ke negara itu pun menjadi salah satu langkah dilakukannya. Indonesia baginya tetap menjadi negara yang mampu menyentuh perasaan cinta mendalam. Tak heran jika saat ia menghirup udara Eropa, dan sehari-hari hidup di sana, pikirannya tak dapat lepas dari negara asal yang yang tetap menjadi kebanggaannya.
Maka itu, dorongan untuk tetap menjadi perempuan kuat tak pernah hilang darinya, dan ia merasakan itulah salah satu cara menunjukkan gengsi negara asalnya di belahan dunia lain. Petualangannya memang awalnya berawal di Asia. Terutama di Singapura, di mana ia sempat menghabiskan 23 tahun di negara jiran tersebut. Berbagai pekerjaan dilakoninya yang awalnya hanya untuk memenuhi tuntutan hidup. 

Salah satu khas studio pijat Gita - Gbr: Gita
Salah satu khas studio pijat Gita - Gbr: Gita
Di Singapura, ia sempat menjajal toko online hingga membuka job agency. Itu dilakukannya bersama teman-temannya di sana. Tak hanya itu, dia juga sempat merambah bisnis retail yang bergerak pada penjualan tas anak-anak. Itu dilakukan dengan cara menitipkannya ke toko-toko dan mal-mal di Singapura. “Tapi saya juga pernah jadi babysitter dan pernah juga menjadi guru ngaji,” Gita bercerita tentang perjalanan kariernya. “Saya memerankan banyak tokoh di dalam hidup saya, dan itu semua saya kerjakan di waktu senggang. Sebab, saya selama di Singapura itu mempunyai pekerjaan tetap di kantor dan bekerja fulltime dari jam 9.00 hingga jam 18.00.” Sampai akhirnya perempuan kelahiran 29 Juli 1971 ini memutuskan pindah ke Jerman, sebuah negara yang tak lagi dapat disebut tetangga Indonesia. Tak hanya pindah negara, tapi juga telah berpindah benua, dari Asia ke Eropa. Entah mengikuti namanya, tapi ia betul-betul tak merasa ciut nyalinya, berada di Eropa. Saat sebagian orang menunduk atas reputasi orang-orang di Benua Biru, Gita tetap menegakkan kepalanya, dan merambah benua tersebut dan menetap di Jerman. Tapi dia juga bercerita jika di awal kedatangannya ke sana pun, dia tak membiarkan semua berjalan tanpa rencana. Ia justru tetap menyiapkan berbagai rencana, terlepas berbagai kemungkinan di luar perkiraan dapat saja terjadi. Tapi kata dia, awal kedatangan ke Jerman juga terbantu karena masih memiliki gaji penuh dari kantornya di Singapura. “Setelah tiga bulan, saya langsung mendapatkan pekerjaan lain di perusahaan ekspor impor,” dia berkisah lebih jauh. “tapi saya hanya bisa bekerja selama tiga bulan karena lokasi kantor yang terlalu jauh dari kota tempat saya tinggal.” Bukan cuma karena jarak. Gita juga mengakui jika persoalan yang sempat menjadi kendala adalah adanya perasaan berat di hatinya sebagai seorang ibu jika harus meninggalkan anak-anaknya.
Gita bersama Septalinda yang juga berdarah Indonesia, dan Natalie Bednar, sahabat Jermannya
Gita bersama Septalinda yang juga berdarah Indonesia, dan Natalie Bednar, sahabat Jermannya
“Apalagi saat itu anak saya masih berusia lima setengah tahun, dan tuntutan pekerjaan sangat menumpuk,” Gita berterus terang. Di tengah kegalauan itu, Gita akhirnya berusaha mencari ide karena tak ingin sepenuhnya menggantungkan diri kepada suami. Dia mengakui jika penghasilan dari suami acap membuatnya merasa sebagia perempauan lemah. “Saya tidak suka menggantungkan diri hanya pada pemberian suami,” Gita menegaskan prinsipnya. “Menunggu uang belanja dan jatah uang dari suami itu selalu membuat saya merasa menjadi pribadi yang lemah dan tak bisa menentukan keinginan saya. Lagipula, itu juga yang membuat saya merasa tak bisa berpikir atau bertindak independen.” Apa yang dilakukannya kemudian? Gita teringat pengalamannya saat masih di Singapura saat sebulan sekali ia mendatangi SPA hanya untuk pijat atau sauna hingga facial dan berbagai keperluan lainnya. “Saat pindah ke Jerman, saya pun mengecek ongkos pijat atau massage di kota saya di Magdeburg,” dia bercerita lagi. “Harganya mencapai 50 hingga 60 euro per jam dengan terapis orang Jerman.” Tak hanya itu, dia pun mengetahui jika Thai massage dari Thailand yang lebih terkenal, tarif pijatnya mencapai 35 hingga 45 euro per jam. Maka itu dia menemukan ide dari sana. Alhasil, hal yang tak disukainya dilakukannya, yakni meminta bantuan kepada suaminya untuk memberikan uang hanya untuk ke SPA. Alih-alih memberikan uang itu, sang suami sempat menunjukkan wajah cemberut dan mengeluhkan itu terlalu mahal. “Jadi saya bilang ke dia, ya sudah kalau begitu bikin SPA untuk saya id rumah dan saya akan membuka studio di sana juga,” katanya kepada suami. “Intinya hanya agar tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk memanjakan diri.” Dari alasan yang awalnya sederhana itulah terbetik di pikirannya untuk memolesnya dengan sentuhan Indonesia. Apalagi dia juga menangkap kesan bahwa dalam urusan massage, Indonesia selama ini kalah pamor dibandingkan dengan Thailand yang lebih mendunia. Di Jerman, katanya, orang-orang Thai bahkan terbilang mendominasi dalam urusan membuka tempat massage  lantaran memiliki pamor dan branding lebih baik dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Tapi pamor Thailand tak membuatnya rendah diri, terlebih setelah melihat inilah kesempatan untuk lebih mengenalkan massage a la Indonesia di negara yang sempat terpecah oleh blok Barat dan Timur tersebut—ia sendiri masuk belahan Jerman Timur. “Akhirnya saya menerapkan konsep SPA Indonesia, dan otomatis di Magdeburg, saya menjadi orang pertama Indonesia yang membuka bisnis ini,” katanya, gembira. Di luar dugaan, nama Indonesia juga memberikan tuah kepadanya. Orang-orang Jerman awal di sekitar tempatnya berdomisili awalnya hanya mengenal pijat khas Thailand, penasaran dengan massage Indonesia, sehingga penasaran. “Bagi mereka ini tentu saja baru dan mereka tertarik dengan sesuatu yang baru. Terlebih ini dibawa oleh orang asli dari Asia, tepatnya Indonesia.”
Di lokasi juga disetting dengan polesan berbau Asia - Gbr - Gita
Di lokasi juga disetting dengan polesan berbau Asia - Gbr - Gita
 Ia juga sempat bercerita jika target awalnya tak muluk-muluk. Ia hanya menargetkan mendapatkan di kisaran 450 euro. Terlebih di Jerman pun ada aturan pembatasan pendapatan dari pekerjaan yang terbilang mini-job. “Setidaknya dari 450 euro itu, saya rasa cukup untuk diri saya, sekadar untuk shopping dan belanja pribadi lainnya,” dia berterus terang. Baginya yang terpenting adalah mengenalkan bagian budaya Indonesia, terutama Bali dan Jawa yang notabene lebih akrab dengan dirinya dan keluarganya. Sempat kesulitan meyakinkan orang-orang, karena banyak yang mengira tak ada bedanya pijat Thailand dengan Indonesia. “Lama-lama mereka akhirnya tahu jika konsep kita ini beda dengan traditional massage-nya Thai,” ujarnya lagi. Lebih jauh yang membanggakannya adalah, dari aktivitas usaha massage tradisional, masyarakat di Magdeburg pun terbawa penasaran untuk lebih mengenal Indonesia, terutama budaya yang ada di negara asalnya itu. “Mereka menjadi lebih tahu tentang negara kita dan nilai tradisional yang kita miliki,”ceritanya lagi. Maka itu, berlabel Bali Java SPA-Massage, Gita menunjukkan kelebihan negara asalnya di Graffweg 5, Magdeburg.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun