Kegelisahan yang menyeruak memang tak lepas dari berbagai fakta ironis dari eksistensi industri rokok, dan RUU Pertembakauan yang kental dengan kepentingan pihak korporasi terkait. Saat rakyat sejatinya membutuhkan sembako, justru terkesan dihipnotis dengan tembakau.
Ya, berbagai jargon muncul dan eksis di tengah masyarakat, yang tanpa sadar menjadi alat hipnotis yang mematikan nalar publik. Dari kalangan rakyat yang masuk kategori kelas bawah, hingga masyarakat kelas atas.
Proses beraroma hipnotis itu terjadi. Sementara upaya pencerahan publik lewat iklan layanan masyarakat atau apa pun yang berbau penerangan seputar rokok dan dampaknya, terkesan sekadar lewat. Iklan rokok itu sendiri jauh lebih masif dan masuk ke rumah-rumah jutaan orang di republik ini, bahwa ini adalah bagian yang akan menunjukkan identitas dan kelas mereka.
Realitas itu mendapatkan tempat meski ada berbagai fakta terpampang dan terpengaruhi langsung dari fenomena tembakau dan rokok.Â
Sebut saja misalnya dari data Riskesdas dalam Angka 2013, tercatat bahwa 64 persen provinsi di Indonesia memiliki prevalensi status gizi buruk lebih rendah dari rata-rata nasional. Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai tiga provinsi yang memiliki nilai prevalensi status gizi buruk tertinggi.Â
Jika di Papua Barat persentase prevalensi gizi buruk mencapai 11,9 persen, di Maluku juga tak jauh berbeda (10,5 persen), mirip halnya di NTT yang mencapai 11,5 persen.
Di sisi lain, rokok telah membuat masyarakat luas tersihir, hingga rela mengeluarkan uang tak terhitung untuk rokok dan terkesan menafikan kebutuhan lain yang jauh lebih penting.
Tahukah kita, terkait rokok saja, maka pengeluaran untuk kebutuhan rokok bagi rumah tangga termiskin setara dengan 14 kali biaya konsumsi daging. Lebih jauh, jika dibandingkan dengan kebutuhan kesehatan maka pengeluaran untuk rokok setara 11 kali biaya kesehatan. Termasuk terkait pendidikan, maka pengeluaran untuk kebutuhan yang merusak kesehatan ini setara dengan 7 kali biaya pendidikan (sumber: LDUI, 2015).
Alhasil, fenomena bahwa seorang ayah akan lebih memprioritaskan rokok daripada menabung untuk kepentingan anaknya bukanlah hal yang asing lagi. Eksesnya, ketiadaan dana pendidikan menjadi alasan untuk menjauh dari pendidikan, dan acap kali anak-anak hanya mewariskan nasib yang telah dialami orangtuanya; ayah dan ibu miskin lantas anak-anak pun turut miskin.
Apakah itu mengada-ada? Tak perlu menjawab, kecuali membuka penglihatan untuk menyimak realita di sekeliling kita sendiri. Tak sedikit orangtua yang merelakan anaknya putus sekolah, asalkan mereka tak putus untuk mengepulkan asap rokok.