Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tari Menjahit Matahari

11 Februari 2016   00:09 Diperbarui: 11 Februari 2016   00:15 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jika kau melihat aku menjahit begini, kau percaya tidak jika aku sedang menjahit matahari?" tanya dia, entah pada kunjunganku ke berapa ke galerinya itu, tapi itu pernah ditanyakan olehnya.

Mungkin dia sedang mengajak sedikit berfilosofi. Matahari mungkin sebuah simbol. Syakku begitulah, tapi tidak terungkap dari mulutku. Ingat, aku lebih tertarik mendengar suaranya, jauh lebih dari suaraku sendiri.

"Tak ada yang tahu bukan, apakah matahari di atas sana terluka atau tidak, retak atau tidak?" dia melanjutkan penjelasan, lagi, dengan kalimat tanya yang tak mudah untuk kujawab.

Ia membiarkan aku larut dengan pikiranku, karena mungkin ia mengira aku berpikir. Kuyakin, ia tak tahu, aku terdiam sama sekali bukan sedang berpikir. Aku hanya sedang menikmati gerak garis wajahnya, dan garisnya di ulas senyumnya. Ini lebih pantas mendapatkan konsentrasiku daripada harus berkonsentrasi berpikir.

"Matahari melakukan pekerjaannya sendiri saja. Tak ada yang membantunya. Entah oleh panas lalu ia meretak dan luka, tak ada yang tahu. Tak ada yang mampu melihatnya, atau mungkin tak tergerak untuk melihatnya," ia melanjutkan kata-katanya lagi. Sedangkan otakku mulai kembali bekerja merekam semua suara dan gerak bibirnya dengan rinci.

Menurut gadis ini, cinta itu ada hubungannya dengan matahari. Jika seseorang benar-benar mencintai penguasa siang itu, takkan ada yang harus ditakutkan untuk mengulurkan tangan ke langit sana, dan mengusap wajah matahari. Entah terbakar, atau bahkan mati, tapi usaha untuk mengetahui luka dan mengusapnya, takkan membuat mati menjadi sia-sia.

Tunggu. Penjelasannya tentang matahari itu tak selesai di sini. Ia masih kerap mengirim penjelasan itu lewat mana saja. Terkadang, ia menjelaskan setiap kali aku berkunjung ke galerinya. Tak jarang pula, ia menjelaskannya saat ia datang ke mimpiku. Tapi aku tak tahu, malam ini akan kembali mengimpikan dia ataukah tidak. Kalaupun tidak, aku yang akan mengambil inisiatif memanjat jendela istana mimpinya. Ya, kalau memang lewat pintu sulit untukku bisa masuk ke sana.* Twitter: @zoelfick

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun