Di sana, maka saya berpikir, jembatan penting yang harus terus saya bangun adalah komunikasi itu. Setidaknya, ketika istri mengeluh, saya bisa menjadi lebih memahami, persoalan apa yang membuatnya mengeluh. Ketika ada hal yang memang menuntut andil saya--kecuali menyusui--saya berusaha untuk bisa melakukannya.
Tidak itu saja, berbagai hal lain pun, saya mengajak istri untuk berbicara--tentu saja dengan cara baik-baik. Semisal, apa saja yang boleh dan tak boleh dilakukan, karena dalam hal pendidikan anak, saya pribadi penganut keyakinan bahwa pendidikan anak dimulai sejak dalam kandungan hingga lahir dan ia bertumbuh.
"Apa yang kita tampilkan di depan anak adalah pelajaran yang akan dibaca olehnya hingga ia kelak dewasa," kira-kira begitulah, kerap saya ungkapkan kepada istri, dengan nada yang memang terkadang bernada menggurui.
Maka itu, saya dengan istri kerap berusaha untuk brainstorming seputar apa yang harus dan tak seharusnya ditampilkan di depan anak. Dengan mengajak melihat secara bersama-sama, walaupun si bayi masih belum tiga bulan, dan ia belum bicara, setidaknya ia sudah mampu mendengar dan mulai bisa melihat.
Masa-masa awal itu, saya yakini akan sangat berpengaruh ke alam pikiran anak dan jiwa anak di masa mendatang, sehingga kerap mengajak istri untuk menaruh perhatian di sisi ini. Apa yang saya lakukan di sini? Berusaha menjaga emosi ketika kelelahan istri menjalani peran sebagai ibu muda kerap membuat emosinya tak stabil. Selain itu, menekankan diri sendiri untuk konsisten pada prinsip tidak mengeluarkan kata-kata yang buruk--tidak saja di depan anak, tapi juga di belakang anak.
2. Pendekatan Psikologis
Saya percaya, dalam proses awal pendidikan anak, situasi psikologis istri sebagai ibu yang notabene akan jauh lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak, bisa berdampak pada banyak hal. Luput memperhatikan ini, sekalipun seorang istri berwawasan tinggi dalam hal pendidikan anak, bisa saja berakibat kontras dengan "tabungan" pengetahuan yang ada. Itu menjadi bagian konsep yang saya coba terus tanamkan pada diri sendiri.
Maka itu, terus menerus memberikan dukungan semangat kepada istri, menjadi bagian langkah yang saya terapkan tak terkecuali ketika ia harus menghadapi kondisi di luar bayangan dia; keinginan bayi yang sulit dimengerti, tangisan bayi yang tak semua bisa diterjemahkan dengan tepat, dan berbagai hal lainnya.
Di antara cara sederhana saya tempuh adalah mengajak istri melihat dengan perspektif; Memiliki anak itu merupakan berkah ataukah musibah? Mendapatkan anak itu merupakan hal patut disyukuri atau diratapi? Merawat dan mendidik anak, apakah masalah atau tantangan? dll.
Hal-hal yang sejatinya juga masih memiliki keterkaitan dengan komunikasi, menjadi pendekatan psikologis yang saya lakukan karena berkeyakinan, perspektif dalam melakukan sesuatu akan sangat menentukan bagaimana cara hingga hasil dari sesuatu yang dilakukan.Â
3. Penghargaan terhadap Istri