Di dunia pernikahan, saya terbilang sebagai pendatang baru lantaran menikah setelah beberapa tahun beranjak dari kepala tiga. Fakta lainnya, saya juga menjadi bagian di antara wajah baru yang menyandang status sebagai ayah, yang ditandai kelahiran bayi perempuan bernama Shadia Humaira Akbar, di Bandung pada 29 Mei 2015. "Sekarang, tugas besarku, ya ini...apa yang kelak bisa kulakukan untuk anak saya ini," menjadi kalimat yang berkelebat di pikiran saya, melupakan perihnya cakaran istri saat ia sedang berjuang melahirkan, di dada saya.
Ya, meski baru memiliki anak satu--dan belum berencana memiliki jumlah anak lebih banyak--tapi lumayan membuat pikiran saya jauh lebih tersita dibandingkan berbagai tantangan yang pernah saya hadapi sebagai individu. Kelahiran bayi itu telah mengubah banyak fakta; dimulai dengan status saya dari suami menjadi ayah, hingga peran yang sebelumnya hanya memimpin istri dan kini memiliki anak yang juga menuntut peran seorang pemimpin.
Di sinilah, berbagai pikiran dan berbagai perencanaan yang saya susun sejak sebelum memutuskan untuk menikah, terasa menemukan "lapangan praktik" sebenarnya. Akan bagaimana anak saya kelak? Itu yang secara terus menerus berkecamuk di pikiran saya.
Pertanyaan itu menjadi lebih serius lantaran ada berbagai fakta lainnya seputar masa-masa awal kelahiran sang bayi; ayahnya bekerja jauh darinya, harus berada di tempat berbeda dengan ibunya, dan dalam keseharian nyaris semua peran lebih banyak harus dijalankan ibunya.
Jika menyebut itu sebagai bagian dari kegundahan, ya itu juga takkan saya tampik. Terlebih saya pribadi, terlepas berbagai kekurangan sebagai manusia, kerap menjadikan syarat keseimbangan dalam nyaris segala hal. Dalam kasus ini, pikiran idealnya adalah ayah dan ibu si bayi sama-sama selalu ada di sisinya, tapi pada langkah awal justru ini tak terwujud. Inilah yang kian membuat kegundahan itu lebih membesar.
Tapi lagi-lagi, saya berusaha menekankan pada diri sendiri untuk tidak mendramatisasi keadaan, walaupun konon hidup adalah drama atau sandiwara. Persoalan keluarga, bagi saya bukan soal topeng apa yang harus dipasang, atau peran apa yang bisa dibuat-buat. Melainkan, ini adalah persoalan serius, dan menuntut persiapan, dan strategi jauh lebih serius.Â
Lantas apa yang saya lakukan?
1. Komunikasi dengan Istri
Ya, Christine Mariska sebagai istri saya, yang terbilang berusia sangat muda, 25 tahun, juga bisa dikatakan masih membutuhkan waktu untuk berproses untuk menjadi seorang ibu. Sebab, fakta yang tak bisa diingkari, keberadaan seorang bayi, meski secara status telah menjadikan seorang istri sebagai ibu tapi tak lantas membuatnya telah sepenuhnya menjadi ibu. Ada proses adaptasi yang harus ia lalui, ada sederet fakta transisi yang menuntut kerja kerasnya sebagai ibu muda. Ini berat.Â
Saya berusaha tidak mengingkari keadaan itu, maka itu sebagai penyandang status kepala rumah tangga, berusaha agar bisa menyiasati fakta ini sebijak mungkin--tak sekadar sebijak yang saya bisa.
Komunikasi, menjadi kata kunci yang saya coba terus terapkan, menjadi satu prinsip yang saya tekankan. Sebab di sini, sebagai suami yang notabene kerap larut dengan pikiran sebagai seorang lelaki, dituntut untuk lebih memahami alam pikiran istri yang tak bisa leluasa lepas dari berbagai dinamikanya sebagai perempuan. Ya, ada dua alam pikiran yang berbeda, latar belakang pengalaman dan pendidikan yang berbeda, hingga keluarga yang tentu saja berbeda.Â