Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Saat Ibu Negara Menjadi Berita

3 Januari 2014   02:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:13 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1388689676178557124

[caption id="attachment_313192" align="aligncenter" width="465" caption="Ya, menjadi kepala rumah tangga juga membuat kening berkeringat (GBR: Republika)"][/caption] Setiap mendengar sebutan "Ibu Negara", pikiran siapa saja akan langsung tertuju ke pendamping kepala negara. Mungkin presiden, mungkin raja, sebagai suaminya. Jelas, ia tak pernah melahirkan sekian juta penduduk di negaranya. Tetap saja, kemampuan ia melahirkan hanyalah beberapa orang saja. Terlebih karena ia dibatasi oleh usia, keterbatasan tenaga, dan berbagai alasan lainnya yang tak terbatas. Sehingga kemampuan memiliki anak, tentu takkan pernah benar-benar bisa mencapai jumlah jutaan.

Beberapa hari belakangan, cerita tentang Ibu Negara kembali merebak. Beberapa bercerita dengan wajah datar saja, karena menganggap hal itu tidaklah terlalu penting dibanding dengan membayangkan ibunya sendiri.

Sebagian lainnya, memperlihatkan ketertarikan terhadap cerita soal Ibu Negara itu. Iapun ikut bercerita kembali dengan wajah antusias, setidaknya untuk bahan cerita saja.

Tak kurang pula ada yang mengulasnya dari sisi lain, merembet-rembet hingga ke ranah politik, ke sudut pandang psikologi, ke sisi budaya, dan banyak sisi lainnya. Lagi-lagi karena hidup memang tak hanya memiliki isi yang hanya berasal dari dua sisi: selalu ada banyak sisi.

Maka dari semua sisi itu meluncurlah cerita itu kian deras. Dari cerita menjadi berita, dari berita lantas menjadi cerita lagi. Alhasil, cerita dan berita menjadi sulit untuk didefinisikan.Cerita dan berita menjadi sama saja. Cerita, ya berita. Berita, ya cerita.

Di mata orang-orang seperti saya, hal itu menjadi satu hal yang tidak terlalu serius. Don't sweat with a small stuff, kata parabule--istilah saya untuk kebule-bulean. Atau, jangan sampai memubazirkan keringat untuk hal-hal yang tak penting--jika saya terjemahkan itu secara merdeka.

Jika bagi saya dan orang-orang seperti saya tidak akan menaruh perhatian terlalu serius untuk hal-hal seperti itu, ada saja yang memilih untuk serius. Itulah bedanya orang-orang serius, terkadang hal-hal tak serius pun menjadi serius. Sedangkan saya, hal-hal serius pun kerap kali terlihat tak serius. Di mata Ibu Negara, yang terlihat tak serius tadi menjadi serius.

Bagi sebagian pewarta, jurnalis, atau apapun namanya, ada juga yang memberitakannya dengan sangat serius. Mengulasnya dengan serius. Mau tak mau, sang Ibu Negara pun terbawa serius. Sayangnya keseriusan beliau tidak berbentuk kepedulian kepada pembantu--misalnya. Melainkan beliau memilih serius menanggapi soal komentar atas selembar foto.

Jika saja saya bisa bicara dengan si Ibu Negara, dan beliau mau mendengar suara saya dengan ekspresi keibuan: maka saya akan berbisik: don't sweat with a small stuff. Lalu, memberi beliau setangkai bunga anggrek sambil menyanyikan lagu lawas: "Setangkai anggrek bulan, yang hampir gugur layu, kini segar kembali...entah mengapa..."

Toh, bernyanyi tetaplah selalu lebih indah daripada mencaci, bukan? (FOLLOW: @ZOELFICK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun