Tim seperti Basarnas, tentunya hanya bisa mengimbau. Mereka tetap tidak memiliki wewenang untuk memaksa masyarakat untuk pindah ke posko-posko pengungsian yang mereka dirikan di berbagai tempat. Maka itu, beberapa kali tampil di TV, salah seorang Diraektur Operasi Basarnas Tatang Zainuddin mengeluhkan keadaan itu.
"Bagi warga di sini, banjir sudah dianggap biasa," keluh Tatang kepada awak media. Lantas apakah penolakan masyarakat terhadap imbauan itu karena mereka memang sudah belajar dari pengalaman sehingga mampu mengantisipasi risiko banjir? Nyatanya tidak! Per hari Rabu, 15 Januari belum lama ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jakarta mencatat adanya korban jiwa, tak kurang empat warga meninggal dunia sebagai korban banjir.
Fenomena yang terjadi tersebut memang bukan persoalan sederhana. Jika "kesadaran" menjadi masalahnya, seharusnya, yang harus dilakukan adalah menyadarkan. Namun lagi-lagi siapa yang menyadarkan?
Saat catatan ini saya tulis, beberapa sumber data menyebutkan, terdapat 31 kelurahan dengan 276 RT dan 75 RW yang terkena banjir di awal 2014 ini. Jumlah itu tersebar di 18 kecamatan di seantero Jakarta. Patut juga dicatat, tidak semua warga menolak imbauan agar mereka meninggalkan tempat tinggalnya sementara waktu. Paling tidak di 35 titik yang dijadikan lokasi evakuasi, menampung 5.152 pengungsi. Artinya per satu lokasi evakuasi, harus menampung lebih dari 100 jiwa.
Masalah pengungsi banjir, bisa dikatakan belum tertangani dengan baik. Sekalipun, lagi-lagi masalah ini terus terulang setiap tahunnya. Tapi kesalahan-kesalahan dalam bersikap di tengah banjir pun terus terulang. Maka kejadian-kejadian seperti korban jiwa berpeluang dihindari, setiap tahun berjatuhan saban banjir datang.
Jadi, yang harus diselesaikan tidak saja persoalan banjir itu sendiri, tapi sikap manusia dalam bersikap saat banjir datang. Selain, yang terpenting lagi, bagaimana bersikap untuk menghindari banjir.