Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

KTP 500 Ribu

19 November 2012   17:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:03 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13535663782118467858

Ilustrasi/KTP (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Jika tak banyak akal, siap-siap diakali. Sepertinya falsafah ini masih cukup setia dipegang sebagian orang di Jakarta. Sebagian memilih benar-benar mematangkan akalnya agar tak diakali. Sebagian, memilih mengakali karena yakin akan ada saja yang bisa diakali. Pengalaman soal diakali, sepertinya bukan saya saja yang pernah mengalaminya. Tapi, saya, lah kan tidak tahu pengalaman orang-orang. Saya cerita saja pengalaman sendiri. Di satu sudut kota Metropolitan. Saya tanyakan, "Eh, pak, kalo mau ngurus katepe di sini---sudah lengkap dengan surat pindah---kudu bayar berapa, ya?" "Ya, kalo mau, bisa abis 500 ribu. Kalo gak, ya bisa lama. Bisa selesai sampai enam bulan kalo gak dibayar segitu," begitulah jawaban saya dapatkan. Langsung saya bermatematika. Berapa hari yang dibutuhkan pihak kelurahan untuk mengetik satu huruf di KTP, ya? Terpikir juga, kota ini memang kota sibuk. Maka, satu katepe butuh waktu enam bulan untuk bisa mendapatkannya. Itu, ya, satu bentuk penggoblokan yang saya alami sendiri. Mungkin mereka berpikir, ini orang kali bisa dikibuli---jadi mencurigai diri sendiri, kali saja memang potensial untuk dikibuli. Ya wis, saya pasrah. Mencari-cari cara lain juga belum ketemu celah. Membayar 500 ribu, jikapun mampu, takkan saya lakukan. Bukan karena alasan terlalu "wah" saya enggan membayar sebanyak itu. Justru, hanya pertimbangan, uang sebanyak itu memang mahal untuk ukuran kantong saya. Akhirnya, jadilah saya salah satu penghuni gelap di kota ini. Artinya, jelas bukan karena saya terlibat praktik pasar gelap. Tidak juga karena alasan saya suka tempat-tempat gelap. Melainkan, sudah cukup kusam kota ini, kenapa saya harus menambahnya menjadi malah kian gelap. Ya, saya memilih menjadi penduduk tak berkatepe, setelah katepe lima tahun lalu dari daerah saya, Aceh, sudah mati. Tapi itu melanggar undang-undang, kan? Lah, ini bukan kesengajaan sendiri. Kan, pembunuhan saja bisa mendapat hukuman lebih ringan jika di luar kesengajaan, toh? Akhirnya, ingin bilang ke Pak Jokowi, "Pak, harga katepe di sini masih 500 ribu lho! He he he."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun