Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masalah Manusia Jakarta

9 Mei 2012   13:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:30 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_187438" align="aligncenter" width="600" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com)"][/caption] Di kota yang menjadi pusat keramaian sekaligus ibu kota negara ini, banyak orang berdecak kagum dengan tampilan fisiknya. Ibarat orang yang terkesima dengan baju necis yang dikenakan oleh seseorang, sampai luput melihat siapa sebenarnya orang di balik baju tersebut. Demikian halnya laksa manusia yang berada di kota ini sendiri, mereka yang pernah sekadar bertandang kemari, atau mereka yang hanya mengangankan sekali waktu bisa menginjak tanahnya saja. Mereka kagum, mereka terkesima, tak pelak mereka pun jadi lupa melihat kota ini apa adanya. Bagiku, melihat manusianya jauh lebih menarik dari sekadar hanya menujukan tatapan pada seperti apa fisik kota ini. Alasannya tidak usah terlalu berbelit, apalagi sampai harus lengkapi sedemikian banyak teori ruwet. Toh, karena nyawa Jakarta adalah nyawa manusia yang ada di dalamnya sendiri. Tentang cara mereka hidup, cara mereka berhadapan dengan keadaan, dan berbagai hal terkait lainnya. Ada pertanyaan tersisa ketika mencoba menyoroti perihal manusia tersebut. Kala demikian banyak orang curahkan pikiran untuk kota ini, bagaimana ia memikirkan manusianya? Pertanyaan yang hanya membuat tercenung ya? Apalagi sebelumnya sudah jelas, hanya manusia yang memikirkan kota ini, sedang ia sendiri sejatinya mati. Ia tidak menggeliat andai manusia di dalamnya tidak menggeliat. Tidak membawa apa-apa, ketika manusia di sana tidak membawa apa-apa. [caption id="attachment_187307" align="aligncenter" width="600" caption="Gbr: Okezone"]

13365708852107266731
13365708852107266731
[/caption] Cerita lama di sini adalah tentang kemiskinan. Saat pemerintah bisa leluasa berdalih,"Bagaimana bisa menyelesaikan masalah kemiskinan di sini, jika pendatang yang berselemak di jengkal-jengkal kota ini sebagian bahkan tidak terdata. Kartu tanda penduduk saja mereka tidak punya." Disahuti oleh seorang ibu dua anak yang pernah saya temui,"Apaan data-dataan. Untuk apa KTP dan lain-lainnya itu. Toh, hal itu tidak akan membantu apa-apa untuk anak-anakku bisa makan. Untuk keluargaku tetap bisa hidup. Jauh lebih penting menggunakan tangan untuk mengais apa yang bisa dikais daripada pusingkan hal-hal seperti itu," isyarat ketidakpedulian yang kurasakan bukan tumbuh sendiri, tetapi diakibatkan oleh 'seseorang' lain yang konon disebut dengan pemerintah. Entah karena rata-rata memilih berpikir demikian maka nyaris tidak ada hari tanpa keharusan melihat pengemis bahkan di badan-badan jalan. Melihat perempuan tertatih-tatih menggendong anak---baik anak sendiri atau hanya sekadar disewa untuk mengetuk hati orang-orang. Melihat anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil bergelayut di pundak orang tua, tapi justru harus bernafas bersama asap hitam kendaraan di jalanan. "Tidak ada yang akan pikirkan kami kecuali kami sendiri. Jika sekarang kami harus menjadi pengemis, karena kemampuan kami berpikir cuma bisa memberi jalan keluar seperti ini. Andai kami bisa berpikir lebih baik, pasti kami takkan memilih ini untuk menjadi jalan hidup dan jalan untuk bertahan hidup," cerita seorang ibu yang kerap saya temui berdiri di bawah terik matahari dengan celengan kecil di tangan. Ia kerap berada persis depan mesjid Palmerah, saban Jumat. Mendefinisikan sebuah kota, sepertinya lebih jujur jika didefinisikan dengan mendahulukan manusia. Ketika di sana ternyata tidak ada sesuatu yang terlalu membanggakan dari cerita tentang manusia itu, belum tepat ia terlalu dielu-elukan. Ah, tapi aku sendiri pun berada di sini. Mengais di sini, untuk sejumput nasi dan bahkan mimpi. (FOLLOW: @zoelfick).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun