[caption id="attachment_107796" align="alignleft" width="160" caption="Tulisan adalah senapan berisi peluru. Seperti apa kondisi pikiran dan jiwa penembaknya, sangat menentukan ketepatan tembakan (Repro: persma.com)"][/caption] Memang, soal strata merangsek sampai dalam dunia kepenulisan. Entah itu penyebutan berupa penulis amatir, penulis kacangan, sampai dengan penulis senior. Satu hal yang bisa ditarik, lepas berada di strata mana saja, menjadi penting untuk berani menyebut: Saya penulis! Alasannya? Membuka beberapa tulisan di beberapa buku yang pernah saya baca seputar Neuro-Linguistic Programming. Saya mendapati banyak sekali pelajaran penting di sana. Terkait, seperti apa memberi stimulan pada diri sendiri. Dari kata-kata yang dipergunakan dalam berdialog dengan diri sendiri. Sampai kepada kesediaan diri sendiri untuk membuka diri untuk benar-benar berbicara dengan diri sendiri. Ini, sama sekali bukan anjuran untuk Anda berada di halte bis atau di dalam angkot, terus kemudian meluncur dialog berupa tanya dan jawab yang anda beri dan jawab sendiri. Pilihan ini, bisa saya pastikan akan membuat orang di samping Anda beringsut menjauh. Sebab, alasannya bisa Anda terka: orang bakal mengira Anda tidak waras. Dari sini, saya kembalikan pada perihal kepenulisan. Saat ingin menulis, sedang di dalam diri sendiri sedang berlangsung pengulangan kalimat berkali-kali berupa;"Lha, saya hanya penulis kemarin sore!" Atau,"Ah, saya kan baru belajar menulis, jadi saya bukan siapa-siapa." Apa yang selanjutnya terjadi. Semua yang ada dalam tubuh Anda. Segala yang berada di jiwa Anda akan membantu untuk menghasilkan sebuah tulisan yang sepadan dengan kalimat itu. Alhasil yang keluar benar-benar adalah tulisan kategori "kemarin sore", kalimat-kalimat yang lahir benar-benar tulisan dari "Bukan siapa-siapa!" Boleh tidak percayai saya dalam hal ini. Mungkin karena Anda beralasan bahwa yang sedang bicarakan masalah ini sama sekali bukan seorang psikolog yang benar-benar paham masalah yang berhubungan dengan konsep yang lazim disebut NLP itu. Namun, di sini Anda bisa buktikan sendiri. Seperti apa Anda melihat diri sendiri, akan sangat berpengaruh pada tulisan seperti apa yang nanti Anda hasilkan! Berkali-kali saya mencoba melihat tulisan yang saya tulis sendiri. Baik yang sudah dimuat di media massa, atau juga yang hanya terhenti termuat di blog pribadi. Di sana, saya coba untuk melakukan sedikit refleksi diri. Kira-kira saat menulis tulisan-tulisan tersebut, pikiran saya sedang berada dalam kondisi seperti apa? Dan terbukti, beberapa tulisan yang bahkan berhasil muncul sebagai juara dalam beberapa perlombaan menulis. Itu saya tulis bersamaan dengan keadaan pikiran saya sedang prima,"Bahwa saya yakin, saya menulis ini dalam kapasitas sebagai penulis!" Dan, terang saja, saat mendapati keesokan harinya mendapati nama saya tercantum di list pemenang perlombaan, saya mengangguk. Bahwa di sini, dalam kepenulisan, mutlak perlu kepercayaan diri. Perlu sugesti diri. Diawali dengan kalimat-kalimat seperti apa yang dipergunakan untuk berbicara diri sendiri. Sambil, tentu saja mengalirkan kata perkata dalam tulisan saat sedang menulis. Kita coba lagi untuk melihat sedikit ke dalam. Kata-kata yang mengalir dalam sebuah tulisan adalah kata-kata yang berasal dari ruang pikiran dan jiwa. Maka, kalau kita umpamakan kata-kata seperti orang berpakaian bagus. Mereka yang berpakaian bagus, namun menjaganya untuk berkendara dengan kendaraan yang terjamin tidak terganggu debu, tentu akan terlihat lebih bersih. Dibanding dengan mereka yang awalnya juga berpakaian bagus, lalu berkendara dengan kendaraan yang sangat memungkinkan untuk berakrab ria dengan debu jalanan. Ini, pasti, ketika sampai di tujuan akan terlihat sepadan dengan jalan mana dan proses seperti apa yang ia tempuh saat tiba di sebuah tujuan. Dengan beberapa alasan tersebut--yang sebenarnya masih mungkin untuk ditelusuri lebih jauh. Baik dalam obrolan beberapa rekan yang ingin memulai menulis, atau sudah menulis namun kerap minder sendiri. Saya kerap katakan, kalau merasa diri bukan penulis, ya bagaimana bisa membantu untuk bisa menghasilkan tulisan? Seorang prajurit di medan tempur. Kalau ia membayangkan dirinya sebagai seorang pendeta. Mungkin ia akan cenderung berpikir, tidak berperikemanusiaan kalau saya muntahkan peluru ke kepala mereka. Karena saya sedang tidak ingin mencari musuh. Tidak mengherankan kalau kemudian yang terjadi adalah, sebuah peluru sudah bersarang di kepala Anda! Untuk itu, jangan sungkan memulai menulis dengan melihat diri sendiri sebagai penulis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H