[caption id="attachment_101573" align="alignleft" width="212" caption="Embun jatuh, kembali luput kuhitung (Gbr: rumahinspirasi.com)"][/caption] Embun kembali jatuh dengan jumlah yang selalu luput kuhitung. Seperti pagi yang sudah pergi. Semua seperti yang sudah-sudah, luput. Pagi ini, embun itu jatuh lagi. Menitik pelan. Membilas sehelai daun dalam hatiku. Aku menarik nafas lega. Bilas embun tak sampai lunturkan namamu. Entah dengan apa dulu kau tulis rangkaian huruf yang membentuk namamu, tidak terlalu kupusingkan. Kukira tidak juga sentuhan bibirmu. Atau bahkan cengkeraman tanganmu di leherku. Bicara sebab memang tidak selalu oleh sesuatu yang sudah pernah terlihat, atau juga apa pun yang membuat kita mengerang menggeliat.
***
Kereta api dari kotamu sudah pergi membawa tubuhku, saat itu. Cuman, kutahu, ada satu yang lupa kubawa serta. Iya, tak lain adalah hatiku sendiri. Maka aku selalu merasakan kehadiranmu, kendati kau jauh. Aku bisa rasakan belai sejuk embun yang kukira jatuh dari ujung lentik jemarimu. Jangan lupa. Sekarang aku sedang berjalan di sekian ruas jalan yang tidak semua kukenal. Dan, yang kubawa bukanlah hati yang sepenuh dulu saat aku masih sebagai bocah. Karena, jemarimu sudah menggenggam hati itu. Kau sudah meremasnya lembut, aku pun menikmati itu semua.
***
"Seperti apa rindumu padaku pagi ini, sayang?" "Seperti asap rokok yang kerap kuhembus. Terkadang membuatku pening, namun aku selalu butuhkannya." "Lantas, itu semua apakah menjadikan kadar cintamu padaku kemudian berkurang?" "Seperti rokok, kalaupun nanti habis, aku akan membakarnya kembali. Jadi, cintaku pasti akan tetap mengepul, sayang."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H