Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Dari Warung Kopi

27 Maret 2011   16:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Terkadang hidup bisa jadi sepekat kopi yang kita reguk. Tetapi pekat itu hilang saat tangan sudah kita gerakkan. Meraih gelas. Sodorkan ujung gelas. Mereguknya.

Pekat itu di luar kita. Ambil saja seperti pernah kita mengambil gelas-gelas kopi. Masukkan ke dalam. Tidak akan pernah menyulap warna hati ikut menghitam. Tidak akan mengubah tulang ikut menghitam.

Reguk dulu kopi-kopi di hadapan kita, kawan. Kosongkan gelas itu untuk bisa lekas dicuci kembali. Menghilangkan hitamnya warna kopi di gelas itu, pastinya tidak dengan mengambil gelas dan melemparkannya ke lantai. Menjadi pecahan-pecahan, melukai kaki yang harusnya dipergunakan untuk berjalan. Tidak, bukan itu. Letakkan tangan kita di gelas. Tuntaskan kopi dengan pekatnya. Biar saja masuk ke tenggorokan tanpa lampu. Nanti, ia akan pulang ke sungai bening. Setelah dibuang oleh pencernaan. Jaga kesehatan pencernaan, Nak.

Reguklah kopi yang sudah di depan.
####
Di Bandar Kupi, 270311

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun