Hujan masih terus turun. Malam masih terus datang. Tetapi, tak ada lagi rasa darinya merembesi parit-parit hati. Iya, rasa dari hati Syscha untuk pria yang perkenalkan diri padanya sebagai Lelaki Hujan.
"Aku hafal sekali, kau begitu menyukai hujan. Dan, hampir saban waktu kau sambangiku, pasti bersamaan dengan hujan turun." Lirih Syscha dengan bibir yang nyaris menyentuh Lelaki Hujan itu.
"Yap, kau benar, Sys. Jika aku menduakan cinta, maka itu juga benar karena aku membagi cintaku untukmu dan untuk hujan!" Fals suara Lelaki Hujan.
Sekitar tiga kali musim hujan, cerita cinta lelaki itu dengan Syscha berjalan. Cerita cinta yang berjalan persis makhluk pincang. Tertatih. Saat jatuh bahkan langsung begitu saja patah. Hilang pincang, dan justru hilang kaki sama sekali. Ironis.
Iya, ironi seperti ironinya tawa dan tatap Syscha setiap arahkan mata ke Lelaki Hujan itu. Sebab di tatapan itu acap berisi rindu yang bergemuruh dan berderak, seperti ranjang pengantin yang berubah menjadi goa penuh sarang laba-laba.
***
Setelah 90 Pekan
"Hai, Sys. Aku ingin bertemu kamu." Suara Lelaki Hujan masih tetap fals setelah lama tidak berhubungan oleh sakit hati lama.
"Untuk apa kamu ingin bertemu istriku?" terdengar suara lelaki dari nomor seluler yang sejak 90 pekan itu selalu hanya membawa suara Syscha.
Adopted from a friend story
Jeuram, 240311
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H