Ketika itu, sang lelaki sudah baringkan ransel di punggungnya yang tak terlalu kekar. Lantas berdiri, tepat di ujung mata kekasihnya. Kata-kata seperti enggan keluar. Kedua bibir berubah berat menjadi berton-ton dari yang sebenarnya. Mengatup saja.
[caption id="attachment_85537" align="aligncenter" width="500" caption="Bukan Burung Kertas (Gbr: photobucket)"][/caption] Cerita itu lantas hanya menjadi cerita diam. Menjadi prosa tatap. Sulit berubah menjadi puisi. Kata orang, diam itu tak ada indahnya. Sedang yang sebenarnya diam itu lebih memusatkan kekuatan mata untuk meraup indah, yang dipancarkan dari mata perempuan, kekasih lelaki itu. Mata saja yang kemudian bicara. Bahwa kaki harus terayun. Terlalu banyak rumput yang harus dihilangkan dari jalanan. Sebelum jalanan itu benar-benar dilalui bersama oleh sepasang kekasih itu. Mungkin iya juga, kalau menyebut mata tidak memiliki kemampuan bicara seperti seandai lidah bergerak untuk mengutip beberapa bait puisi;
Senja nanti matahari hilang pulang. Petang nanti sayap-sayap  burung tak lagi terlihat di langit. Jelang malam, putih warna langit akan basah oleh hitam dari ujung kuas pekat. Tapi, besok matahari akan duduk lagi di tengah langit sana. Sayap burung-burung akan mengepak kembali dengan warna langit yang akan cerah kembali sedang kuas pekat juga takkan bergerak ketika sabda waktu haruskannya untuk tidak gantikan peran langit siang.
Sekalipun puisi itu tak terlafal. Sepasang kekasih yang sudah tak pedulikan  namanya itu, mengubah kelu menjadi dekap. Janji dalam diam, besok pagi, kembali bersama lagi menjemput kristal cahaya dari matahari. Jauh sebelum mata orang-orang terbuka.
Cinta bicara dengan bahasanya. Bahasa yang tidak terus menerus menyembah kata-kata!
Cilandak 19 Jan 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H