Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ruh Dalam Senjata Tradisional Rencong

16 Januari 2011   14:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:31 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sampai pertengahan 90an, di gampoeng-gampoeng di Aceh masih dengan mudah terlihat rencong tersemat di pinggang ureueng Aceh. Ada apa di balik senjata mengtradisi itu?

Masih dengan mudah menemukan tudingan bahwa rencong itu lebih menyiratkan kebebalan ureueng Aceh, dewasa ini.

Lepas dari apapun tudingan yang berkembang. Namun rencong memang tegak dengan nama ureueng Aceh. Melengkung agar harga diri tetap tegak. Itu diisyaratkan dari senjata itu.

Ia memang lebih berbentuk pisau yang memiliki berbagai ukuran. Biasanya hanya setelapak tangan saja. Dulu, dalam sejarahnya menjadi bagian atribut kaum bangsawan. Juga, tentu saja, pegangan ureueng beuheue (pendekar).

Rencong adalah bagian sejarah yang ikut serta cipratkan darah dari dada-dada kolonialis Belanda. Maka dalam rencong ada nilai keberanian dan perjuangan. Selain tekad baja,"Meunjoe rincong kalheueh bak badan. Pantang gisa lam saroeng sigohlom darah ilee!" (Kalau rencong sudah keluar dari sarungnya, pantang ia masuk kembali sebelum ada darah yang keluar).

Dalam pikiran modern. Kemungkinan besar prinsip seperti tertulis di atas mungkin lebih terlihat sebagai nilai yang jauh tertinggal jaman.

Akan tetapi beranjak dari sekadar soal tertinggal jaman dan semacamnya. Harus diakui, rencong dengan Aceh adalah ruh dengan badan. Karena di sana terdapat harga diri. Di sana berada spirit juang. Pun di sana bertempat cinta.

Cinta yang membuat para suami Aceh tidak hanya menyuruh perempuannya untuk hanya merias tubuh. Namun cinta yang menjadi penggerak, medan juang tidak mutlak milik lelaki saja. Dari sana muncul nama Cut Nja' Dhien, Cut Muthia dan Malahayati.

Kembali ke tradisi menyematkan rencong di pinggang seperti lazimnya era 90an seperti saya sebut sebelumnya. Hal itu memang lebih sebagai ekspresi jiwa, lelaki tidak dituntut bicara dalam berhadapan dengan hidup. Saat harus menghadang tantangan. Diam seperti rencong. Mengarah ke bawah, namun pesankan kesiagaan. Itu pula disyaratkan oleh lekuknya yang menjadi bentuk dasar senjata ureueng Aceh bernama rencong

Cilandak, 16 Jan 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun