Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rapa'ie, Kesenian Pendidikan ala Ureueng Aceh. Entah Kemana?

14 Agustus 2010   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:02 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_226168" align="alignleft" width="300" caption="Media pendidikan rakyat yang sarat seni, semoga tidak terhenti sampai di sini (Gbr: Googleimages)"][/caption] Dulu, terakhir sampai pertengahan 90-an kesenian itu masih lekat dengan ureueng Aceh. Bahkan kalau ada perhelatan pernikahan sekalipun, terasa belum lengkap jika tidak dilengkapi dengan kesenian rakyat itu. Di panggung, dengan ukuran sekitar 4 x 5 meter, sekitar 7 lelaki duduk dengan tangan masing-masing memegang rapa'ie, jenis alat musik khas Aceh yang terbuat dari kulit kambing kering. Selanjutnya, tangan-tangan penabuh rapa'ie dengan lincah mengikuti suara seorang syeh (sebutan untuk satu pemain yang khusus melantunkan syair-syair). Terkadang diselingi dengan mengulang kembali lirik syair yang dinyanyikan syeh. Keseiramaan vokal saat mengikuti lirik syair dengan tetap berirama memukul rapa'ie memberi efek magis yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Syeh dengan penabuh rapa'ie acap terlihat seperti merasakan trans ditengah syair yang dinyanyikan dan rapa'ie yang mereka tabuh. salam alaikom, warahmatullah jaroe dua blah ateueh jeumala Lirik ini sering dijadikan lirik pembukaan yang disahuti dengan semangat dan suara tinggi. Dari gema suara itu, aura heroisme ureueng Aceh sangat kentara terasa. Selanjutnya, syair-syair yang dinyanyikan lebih banyak berisi sindiran atas berbagai tindak laku ureueng Aceh sendiri. Seperti misal, umu ka tuha igoe hana lee, tika mushalla han taturi wareuna (umur kian menua dengan gigi yang sudah tidak ada lagi, tikar sembahyang warnanya pun tak dikenal lagi, terj). Sindiran untuk ureueng Aceh yang sudah berusia lanjut tetapi tidak sadar-sadar untuk mendekat pada Tuhan dengan ibadahnya. Kadang juga acap menyindir berbagai macam kebiasaan lain seperti suami dan istri yang lupa dengan mendidik anaknya dengan sebaiknya, nyan takaloen hareuta meuruwah, mita raseuki reuoeh reu'ah, sinyak dara keumah jiepeulahee aneuek rameujadah (kita lihat hartanya melimpah ruah, mencari rezeki kemana-mana, tetapi anak dirumah sampai melahirkan anak di luar nikah). Dan beragam lirik lainnya yang memiliki kandungan pesan moral yang sangat kuat. Terkadang sindiran-sindiran itu disambut teriakan tawa oleh penduduk yang mengitari panggung, seolah menertawakan diri sendiri. Meskipun biasanya acara itu sampai jelang subuh, suara syeh melantunkan syair-syairnya seakan tidak pernah berkurang, seperti tidak merasakan lelah. Masyarakat yang menyaksikan rapa'ie itu juga tetap semangat. Tak kurang, malah ada yang sampai membawa obat nyamuk untuk bisa menikmati tabuhan-tabuhan rapa'ie tanpa terganggu nyamuk. Di sini, rapa'ie membawakan perannya untuk transfer nilai-nilai reliji yang dibungkus dengan syair-syair yang memikat. Meski tidak dengan irama menggurui, tapi diakui bahwa lirik-lirik dalam syair tersebut sangat mempengaruhi jiwa ureueng Aceh. Lirik yang ada dalam kesenian itu merasuk kuat ke dalam jiwa ureueng Aceh. Mempengaruhi masyarakat terkait cara bersikap, cara bertutur sampai dalam memegang prinsip untuk tidak jauh-jauh dari nilai yang diajarkan dalam Islam. Tunggu dulu, kesenian itu untuk sekarang sudah sangat jarang bisa disaksikan di tengah-tengah perkampungan penduduk Aceh. Jika pun ada, itu juga lebih sering hanya ada pada acara-acara perhelatan di tingkat pemerintah atau perlombaan-perlombaan jelang agustusan, itu juga sesekali. Tidak selazim dulu. Sedang untuk tingkatan masyarakat kebanyakan lebih memilih perangkat musik modern untuk diundang kalau misal ada perhelatan semisal acara nikah, yang tentu saja hanya lebih diminati kalangan muda. Beda dengan rapa'ie dulu, diminati oleh semua kalangan dan bisa menjadi sarana pendidikan ureueng Aceh. Kenapa sedemikian berubah? Bisa jadi karena angka tahun ternyata sudah beda ya? Tidak ada lagi angka 19. Jakarta, 14 Agustus 2010 --------------------- Video yang mencerminkan spirit ureueng Aceh:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun