Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Money

Menulis untuk Akar Rumput

29 Juli 2010   07:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:30 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah beberapa kali tulisan saya termuat di beberapa media mainstream, tetapi itu tidak menjadi sesuatu yang terlalu membanggakan. Sebab yang terpikir oleh saya bukan di mana tulisan itu bertempat, tetapi apa yang sudah dibawa oleh tulisan dimaksud dan memberi dampak untuk sebuah perubahan yang lebih baik.

[caption id="attachment_208528" align="alignleft" width="300" caption="Mungkin aku baru bisa lakukan yang kecil-kecil, sahabat (Gbr: Zulfikar Akbar)"][/caption] Terkait itu, pikiran saya lebih tertuju pada persoalan sosial yang terkadang dibahas di berbagai seminar yang menghabiskan uang jutaan namun belum pernah terbukti memberi dampak kuat pada perubahan menjadi lebih baik di tingkatan masyarakat akar rumput. Justru, berbagai seminar yang ada hanya membuat kerbau-kerbau kian gendut sedang akar rumput terus saja melahirkan rumput. Lha, siapa yang menjadi kerbau? Ah, permisi saya tidak berani menjelaskan karena saya hanya seorang pengecut kok, maka pun saya tidak berani menuding atawa juga mengdikte: ini kerbau, ini sapi, ini kambing, si pulan penjahat, si pulan yang itu lagi adalah penjilat. Sebab, kepengecutan saya sebagai bagian dari masyarakat yang tumbuh dan berdiri serta bergerak di kalangan masyarakat akar rumput lebih memilih untuk tidak menuding. Sebab, kami di bawah--dan kemudian akrab disebut sebagai masyarakat kelas bawah--juga melihat bahwa kalangan atas saja yang tidak pernah lelah saling tuding juga sejauh ini hanya sebatas bisa membawa angin syurga, tetapi justru pikirannya lebih banyak berpikir pada keluarga sendiri agar 'betah' sebagai orang-orang sejahtera. Sedangkan bagaimana dengan rakyat jelata, sepertinya hanya menarik  untuk dijadikan mantera sehingga banyak mata yang tidak bisa terbuka. Buta dan pastinya tidak bisa melihat apa-apa.

***

Kebetulan saya bisa membaca, meski merasakan sedih karena banyak masyarakat di kalanganku yang sama sekali tidak mengenal aksara. Mereka banyak tidak bisa membaca, tidak sekadar aksara tetapi memang tidak bisa membaca apa-apa. Maka, mereka untuk bermimpi menjadi sejahtera pun tidak tahu apalagi kalau bicara bagaimana mewujudkan mimpi menjadi nyata.

Ini mengada-ada? Tidak, sesekali cobalah untuk naik angkot untuk melihat saudara-saudaraku itu. Terkadang mereka hanya bisa berbaring putus asa di kolong-kolong jembatan. Mereka sudah kehilangan rasa karena sudah terlalu sering melihat orang-orang yang tidak berperasaan. Maka dinginnya malam tanpa selimut juga tidak terlalu terasa. Panasnya aspal di jalanan kota juga sudah tidak bisa terasa meski mereka tidak memilili alas kaki. Caci maki dan tatapan sinis orang-orang yang berlalu di hadapan mereka juga sudah tidak memberi rasa apa-apa.

Aku sendiri, hanya bisa berbisik pada beberapa kawan dekat atau siapa saja yang masih memiliki telinga yang baik untuk mendengar, mata yang masih jernih untuk melihat, dan lidah yang masih fasih untuk bicara karena memang masih dipercayakan Tuhan untuk memiliki kepercayaan diri lebih baik daripada mereka. Sesekali, keluar dari sendiri saya kira bisa menjadi pilihan tepat kendati untuk itu engkau sahabat tidak disebut sebagai pahlawan. Lalu, coba tunjukkan pada mereka yang sekarang sedang menjadi penguasa sebelum mereka mangkat dan masih bisa berbuat, untuk bisa melihat lebih terang keadaan rakyat. Atau, bisikkan mereka yang sekarang berkesempatan menjadi pejabat beberapa kalimat tentang rakyat. Kemampuanmu bicara karena masih ada kepercayaan diri itu gunakan untuk mengukir kata-kata yang lebih indah dari puisi.

Sebab, jika engkau hanya asal bicara dengan kalimat yang tersendat-sendat, bisa saja pejabat itu membuatmu tidak bisa menggeliat dan perubahan bisa terjadi cepat. Sebab, engkau cenderung sudah dituduh terlalu pagi bukan sebagai orang yang layak dipercaya. Pun, kau tahu sahabat, sekarang ini kemampuan bicara masih mahal dan masih bisa membawa manfaat agar rakyat tidak terus-menerus sekarat setelah engkau bisa membuat telinga pejabat lebih terbuka, mata mereka lebih jernih melihat dan mulut mereka bisa lebih memilih bicarakan rakyat dari sekadar bicarakan tempat-tempat tepat untuk mereka bermaksiat.

Kukira itu pilihan tepat, untuk keluarkan semua aksara yang sudah kita hafal di luar kepala untuk bicarakan nasib rakyat meski beberapa kalimat. Karena harapan menciptakan perubahan menjadi lebih baik untuk rakyat masih terbuka lebar sebelum kiamat, dan kita pun belum mangkat. Setidaknya, kita tidak perlu melihat jenazah kita teronggok di balik tanah dengan sederet huruf yang menjadi prasasti penunjuk, lalu dengan menyesal membaca: SALAH SATU BANGSAT YANG TIDAK PEDULI RAKYAT. Toh, kelak, pertanggung-jawaban di hadapan Tuhan tidak hanya sekadar soal ibadat terkait dengan-Nya, tapi bahkan untuk apa saja sudah kita pernah menyusun sekian banyak kalimat. Memalukan bukan jika kita hanya bisa menjawab termalu-malu:"Untuk roti beberapa kerat yang kumakan dengan mulut yang menelan tanpa penat."

Ah, baik kutitahkan dulu pada diri sendiri, untuk tidak penat bicara tentang rakyat yang sampai sekarang masih banyak yang sekarat. (ZA)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun