Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bermatematika Tanpa Angka

17 Juli 2010   18:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:47 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_197070" align="alignleft" width="300" caption="Diam, tetapi jangan hentikan semua yang bergerak. Lalu memilih untuk juga bergerak dan juga biarkan semua bergerak. Karena dalam gerak maka tumbuh kehidupan (Gbr: Google Images)"][/caption] Dari ketinggian langit, ada pelajaran tentang ilmu ketinggian yang diajarkan oleh alam. Tidak ada suara darinya, selain kebersahajaan. Membiarkan burung beterbangan dalam posisi ketinggian, dan menara-menara berdiri juga dalam ketinggian dalam definisi menara itu sendiri. Dengan gedung-gedung di perkotaan yang juga menjelaskan ketinggiannya. Burung-burung memiliki keterbatasan dalam kepakkan sayapnya, lalu berhenti di dahan-dahan yang mungkin bisa ia singgahi. Melanjutkan irama kepak sayap hanya jika hujan tidak terlalu deras yang membuat ia tidak kuasa lepaskan butir-butir hujan yang bersemadi dalam sayapnya. Terkadang, memang dalam jumlah sekian butir hujan yang menyusup dalam helai-helai bulunya bisa ia tingkahi untuk tidak berhenti dan terbawa kantuk di dahan sesaat itu. Tapi, seekor burung dalam instingnya ia juga bermatematika tanpa mempergunakan angka. Sedang menara-menara yang juga berada dalam ketinggian, di ujung matanya sempat memberi jenuh pada tingkah angin malas yang hanya bisa menghembus bersama kekuatan yang lupa ia lihat sendiri, sampai tiba angin yang lebih kuat dan jungkalkan menara itu justru dari bawah. Sama sekali tidak menyentuh kepala dari menara yang berbusung dada tersebut. Mengenai gedung-gedung yang terdiri dari bangkai-bangkai pasir yang menebarkan bau menyengat menusuk hidung. Angin bijaksana tidak menghabiskan tenaganya untuk runtuhkan gedung tinggi pengukir keangkuhan, kecuali sekedar jungkalkan menara baja. Angin memainkan lakonnya persis di ujung mata burung muda di dahan tadi, burung yang mencoba tidak terlalu pedulikan bulu-bulu baru tumbuh. Dan ikhlaskan bulu-bulu yang menua untuk lepas dengan sendirinya. Juga, biarkan ketidaknampakan angin bekerja dengan caranya. Sambil menanam dalam segara keyakinan, bahwa alam bermain lakon penuh harmoni. Tidak ada jalinan cerita yang terpecah, tak ada skenario yang tercerai berai. Semua bermain dalam kesatuan. Lalu, jika memang alam diyakini sudah perlihatkan seulas senyum dalam ketenangan angin dan matahari, ia lanjutkan terbang dan ceritakan pada langit pedesaan, di atas pesawahan sampai ke terminal-terminal perkotaan, bahwa Tuhan bekerja tanpa perlu dikte bahwa sesuatu itu baik dan tidak. ----------- Bekasi, 18 Juli 2010 Saat bertamu ke rumah  saudara, seorang Kompasianer, Hazmi 'Srondol' Fitriyasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun