Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jika Tak Bisa 'Bangun' Lagi

18 Agustus 2010   17:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_231081" align="alignleft" width="346" caption="Terlalu serius juga malah hanya jadi bahan tertawaan (Gbr: Googleimages)"][/caption] Berawal dari pandangan seorang kenalan yang sarankan saya untuk tidak lagi kepulkan asap rokok menthol. Alasan yang dikemukakan,"Bisa bikin tidak bangun." Entah mungkin karena saya sendiri yang terlalu lugu, tak lama saya bangun dari kursi yang baru saja saya duduki. Dengan tersirat menunjukkan, walaupun kepulkan asap rokok itu, buktinya ini masih bisa bangun. Terus, pikiran saya kali ini bisa diajak kompromi untuk melamunkan (menghindari kata 'memikirkan' biar tidak 'dituduh' sebagai filosof), iya, melamunkan apa saja yang berhubungan badan dengan bangun. Maksud saya yang berhubungan dengan badan dan juga dengan bangun. Sel-sel otak saya sepertinya lebih rileks dan bisa jejingkrakan disela-sela satu topik yang memang tidak jauh-jauh dengan urusan bangun, meski tidak tertarik untuk kait-kaitkan dengan hukum bangun yang ada dalam matematika. Pastinya, mengulik sedikit dan mengaitkannya dengan bulan puasa, bangun menjadi sebuah keharusan. Baik untuk sahur, atau juga bangun biar tidak mengulang kebiasaan ketika kita dulu pernah menjadi balita yang suka latihan berenang diatas kencing sendiri di atas tempat tidur. Kemudian, bangun juga mengingatkan saya pada banyak hal lain. Misal saja, mencoba kaitkan dengan posisi bangun dengan kesempatan untuk bisa melakukan banyak hal lebih banyak daripada yang bisa dilakukan saat tertidur. Seorang prajurit tempur akan merasa sangat terhina jika harus mati di tempat tidur, maka mereka memilih untuk bangga dengan dada membusung, sekalipun dengan berdiri seperti itu peluru musuh bisa saja lebih mudah mendarat di dadanya. Setidaknya, ia bisa mati dengan membawa sekerat singkong kebanggaan. Tapi, ada juga memang beberapa prajurit yang menyukai membaca buku cerita kancil, sesekali ia berpura-pura mati sampai lawannya mengira ia benar-benar mati dan selanjutnya malah sangkurnya bisa membantu malaikat maut tidak terlalu kerepotan membawa nyawa musuhnya ke tempat yang tidak perlu diterka-terka, dengan cepat. Meski mungkin, ia sebagai manusia bisa saja lupa untuk mengambil darah musuh yang terlanjur mengucur itu untuk disumbangkan ke palang merah. Pilihan yang kejam mungkin, tapi setidaknya ia bisa berkompromi sebentar lagi dengan Tuhan untuk tidak lebih dulu tidur di balik tanah dan tidak bisa lakukan apa-apa. [caption id="attachment_231107" align="alignright" width="300" caption="Meski cuma dengan sapu, kalau bisa bikin cepat selesaikan tugas ya lebih baik. Toh, sapu gak mesti untuk nenek sihir. Karena nenek-nenek juga gak bisa nyapu lagi. Kasihan kalau nenek diminta main sapu (Gbr: unik.blogspot.com)"][/caption] Selanjutnya, usai perang itu, prajurit ini bisa cerita sambil minum kopi di markas sepulang dari medan tempur sampai kelak ketika ia mungkin harus ditarik dari medan perang. Bahwa, untuk bisa menjadi pemenang dalam perang tidak perlu melulu harus berdiri tegak dengan dada membusung. Karena dada membusung tidak serta merta bisa menjadi deskripsi mutlak seorang prajurit sejati, sebab pelacur yang sekaligus menjadi penari striptease juga kerap busungkan dada dan malah berisiko menghancurkan sekian banyak rumah tangga. Dari sana juga, prajurit tersebut bisa bercerita. Berbaring saja, tidak apa-apa, meski tidak terlihat. Karena tidak terlihat itu justru lebih bagus karena lawan juga sulit menyasar kepalanya untuk diremukkan dengan peluru yang tidak pernah mendapat training tentang hak hidup atau hak untuk abadi. Berbaring, atau mungkin lebih tepat tiarap ya, karena dengan begitu badannya tidak perlu terlalu lelah dan ia malah lebih leluasa untuk arahkan moncong senapan ke arah dahi lawannya yang mungkin sudah lebih dulu tidak ada isi di dalamnya. Jadi, soal terlihat bangun atau tidak itu bukan satu hal yang terlalu penting. Kecuali untuk kita yang lelaki dan sudah berumah-tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun