Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lamunan di Gambir

27 Juli 2010   17:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:33 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_206677" align="alignleft" width="300" caption="KRL yang dibawa manusia dan membawa manusia tetapi katanya tidak berisi manusia (Gbr: Flickr.com)"][/caption] Anak-anak bercelana pendek dengan kaki dan tubuh jelas terlihat dekil. Tangan kecil berpegangan dengan tubuh di sisi yang menjorok ke luar. Beberapa dari bocah-bocah itu sebagian juga mengacungkan kaki keluar dari badan kereta. Saya terkesiap, darah terasa terhenti, napas tertahan karena pikiran juga sedang membayangkan bocah-bocah itu sebagai adik saya sendiri. Potret itu terlihat di ujung hidung saya saat siang tadi (27/7) sekira jam 13.30, setelah keliling dari Cibubur ke Kantor Berita Reuters dan satu restoran yang tidak terhapal namanya oleh saya di Balai Sarbini dan kemudian berada di Gambir dengan menumpang Busway yang memang baru pertama kali saya naiki sampai selanjutnya saya menunggu kereta api Argo Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung. Dengan melemparkan mata ke arah rel sisi tengah yang sepenglihatan saya sepertinya memang diperuntukkan untuk KRL (Kereta Rel Listrik). Kecepatan berlarinya KRL tersebut coba saya taksir kekuatannya jelas jauh lebih cepat daripada kemampuan anak-anak tersebut untuk memungut kembali tubuhnya yang remuk dan nyawa yang melayang, jika saja dengan kecepatan KRL membelah rel membuat tangan kecil bocah-bocah itu tidak kuat berpegang pada pegangan di sisi pintu. Kemungkinan yang nyaris pasti, karena melihat tampilan fisik yang terlihat kurang gizi. Kurang gizi tentu tidak bisa dipaksakan meyakini bahwa mereka memiliki kekuatan tersembunyi, tidak mungkin membantu mereka untuk bisa menolak undangan peti mati (aha, ada yang beralasan nanti, toh soal peti mati, mereka yang penuh gizi juga tidak bisa berlari). Nah, melihat potret demikian, tidak ada hal yang terlalu dalam saya renungkan. Pun, terlalu dalam juga seringkali lebih gelap dan malah tidak terlihat apa-apa. Maka saya tuangkan saja yang dangkal-dangkal untuk lebih terlihat. Manusia, iya karena selain mereka menjadi penumpang dari kendaraan tersebut, perlu juga diingat kalau anak-anak tersebut juga manusia. Jika anak-anak ini anak-anak manusia, saya terpikir juga apakah manusia sudah diharamkan untuk bisa 'beliakkan mata' untuk anak-anak dimaksud sehingga mereka tidak perlu terlalu pagi tinggalkan statusnya sebagai manusia menjadi mantan manusia. Tidak mesti harus turun tangan dari pengelola KRL itu saja saya kira, tetapi juga lelaki yang lebih dewasa yang saya lihat beberapa mengelus kumis sampai juga yang mengelus perut sendiri. Atau bisa juga perempuan-perempuan dewasa yang ada di sana, saya kira tidak dosa kalau sedikit omeli anak-anak tersebut kalau memang tidak suka untuk menasehati. Tetapi, sejauh saya melihat kereta itu melintas, lamunan saya itu tidak terjadi dan malah anak-anak ini bisa loncat-loncat di badan KRL yang sedang berlari. Tercenung lagi, apakah sudah terhapus kata 'peduli' dari kamus nurani? Wallaahu a'lam (ZA)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun