Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bunga yang Terendam

23 Juli 2010   16:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:38 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_202871" align="alignleft" width="300" caption="Kutunggu saja matahari pulang (Gbr: dreamscene.org)"][/caption] Malam adalah sungai pekat yang terasa panjang. Mengalir membawa sejuk tetapi tak ada yang terlihat. Termasuk sekuntum bunga yang sudah penuh warna, tidak lagi terlihat karena dingin telah membius rindu jatuh tersungkur di pasir-pasir di bawah rembulan. Kucoba berikan bunga itu tanpa berkata-kata, tetapi justru matamu tidak bisa melihat warnanya, hingga kau diamkan saja. Sedang aku, tidak bicara karena mengira, cinta itu bukanlah rangkaian huruf-huruf belaka yang bahkan bisa diucapkan oleh seorang raja dusta. Bisa diukir bahkan oleh mereka yang sebenarnya cuma melihat cinta tak lebih sekadar huruf, dan mati di sana tanpa penjabaran dalam sikap dan gerak penuh irama yang lebih sejuk dari belaian embun malam. Sempat terpikir, untuk apa kusimpan bunga ini jika warnanya tidak menarik perhatian dan kuasa membuka mata indahmu. Tetapi, setelah meremas segenggam pasir yang juga dingin, kutemukan setitik renungan bahwa dingin hanya baluti pasir-pasir dalam genggamanku hanya ketika matahari belum datang saja. Sedang nanti pagi, persisnya ketika siang sudah menjelang, dingin pasir akan berubah menjadi energi yang menyerap panas lalu terhembus angin dan malah bisa saja menjadi titik-titik api yang akan membakar semua beku. Saat itu, matamu kuyakin akan semakin terbuka, dan aku pasti berkesempatan melihat binar indahnya.

***

[caption id="attachment_202877" align="alignright" width="300" caption="Malam cukuplah membawa dingin, tak perlu paksakan beku (Gbr: Google Images)"][/caption] "Kenapa mereka bisa saling diam demikian?" Terdengar suara yang entah berasal dari mana, sepertinya dari sebuah lorong yang tak kukenal, karena terasa suara itu agak menggema. "Aku juga tidak paham tentang mereka..." Sahut suara satu lagi yang terdengar jauh lebih lemah dari suara yang pertama. "Mungkin...uhm, sepertinya karena pengaruh dingin malam yang terlalu menusuk, sampai tulang mereka pun lupa pada warna putihnya sendiri?" "Ah, kau malah mengajakku untuk menerka-nerka. Padahal kita saja tidak bisa melihat apa-apa dalam kepekatan seperti ini." "Sebentar, bukan begitu...tapi lihatlah, seharusnya cinta bisa menjadi api yang memercik sendiri oleh tangan-tangan malaikat yang pernah mengusap hati Adam ketika di syurga?" Tidak ada sahutan. Hening. Sepotong bulan tidak cukup membawa cahaya untuk perjelas ujud yang sedang bicara itu. "Selalu ada kerumitan untuk menjelaskan warna bunga ketika matahari lelah dan pulang." Entah siapa yang sebutkan demikian. Sebab malam masih kerasan dengan warna gelapnya dan dingin yang juga tak bisa diterka dibawa oleh siapa. --------- Bandung, 24 Juli 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun