Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jogja, tentang Seorang Perempuan Tua

17 Agustus 2010   14:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:57 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan perkampungan di pinggiran Jogja itu membawa warna yang tidak digerus meski ombak waktu sama sekali tidak ramah.

***

Kalinongko Kidul, 3 tahun lalu menjadi tangan malaikat yang tidak terlihat oleh mataku yang disesaki debu, tetapi begitu kuat ayunkan kuas. Laiknya tubuh ringkih yang kubawa tertatih ke sana persis menyerupai kanvas yang seenaknya dialirkan gambar-gambar yang awalnya tidak kumengerti. Dengan ransel yang sudah lusuh seperti lusuhnya rambutku yang diacak-acak angin sejak dari Sambisari. Terkadang terasakan rasa risih saat ibu-ibu berusia sekitar 80 tahun tetapi masih kuat memikul kayu yang kutaksir nyaris sama berat dengan berat badannya. Seakan dia sedang menyindir kemudaanku yang terkadang sering teriak letih cuma karena beban yang sebenarnya masih lebih ringan dari yang dipikul nenek-nenek itu. Tercenung. Tercekat. Terdiam. Aku mencoba meraba pesan dari gerak teduh perempuan tua itu. Selarik pesan kucoba tangkap dari senyumnya. Seolah ia bicara,"Kesulitan hidup itu tidak harus dikeluhkan hanya karena kelemahan tubuh yang memang akan hancur juga ketika ajal sudah datang serupa pemerkosa rakus. Sebab, ketika jiwa di dalam diri itu terus dipupuk, seperti tanaman yang diasuh dengan cinta, semua beban itu tidak akan menjadi sesuatu yang berat. Karena Tuhan lebih mengerti matematika. Tuhan lebih paham cara mengukur kemampuan kita yang diciptakan-Nya tanpa perlu pergunakan tangan-Nya yang Mahelembut. Karena, tangan itu hanya akan ia ulurkan ketika kita percaya, ia tidak pernah diam." Kakinya yang kuyakini sudah sedemikian melemah itu, tapi seperti hilang aura lemah saat ia terayun. Saat kaki itu menghela rumput-rumput kecil yang berada di pinggir-pinggir jalan desa itu. Mungkin itu sekadar lamunanku. Tetapi sebenarnya kupercaya, Tuhan sudah bicara lewat gerak perempuan tua itu. ---------- Jakarta, 17 Agustus 2010 (Genap setahun saya menumpang di Kompasiana)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun