Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencari Manusia di Jalan Raya

27 Juni 2010   07:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_178731" align="alignright" width="298" caption="Tuhan pasti tidak tersenyum melihat ini (Gambar: Kompas.com)"][/caption] Jalan-jalan menikmati akhir pekan di kota Bandung, Sabtu (27/6). Berkisar 6 jam saya menelusuri jalanan sambil sesekali naik angkot. Melihat-lihat potret kota Bandung dari dekat. Orang jompo yang duduk dengan mata kuyu, anak-anak jalanan yang seharusnya masih berkesempatan untuk bermanja dengan orang tuanya, juga perempuan-perempuan ber-make up tebal-tebal di pinggir jalan seperti menanti sesuatu yang sulit kutebak. Perjalanan itu sampai jam 22.30 tadi malam. Sebagai seorang pendatang yang memang belum memiliki banyak fasilitas pendukung pribadi untuk jalan-jalan, angkot menjadi sarana satu-satunya menjadi pilihan, selain--tentunya--jalan kaki. Dari Geger Kalong, potret yang saya dapati juga tidak jauh berubah dari setengah tahun lalu saat saya pertama sekali tiba di sini. Jalanan lebih banyak terlihat anak-anak muda yang tak lain adalah mahasiswa kampus sekitar seperti UPI, UNPAS dan beberapa kampus lain. Juga, pengamen yang berasal dari berbagai latar belakang usia. Saat sudah berada di Panorama untuk menunggu angkot, saya sering perhatikan seorang nenek yang duduk pinggir jalan. Nenek ini seringkali duduk berteman dengan sebuah radio transistor yang dipeluknya serupa seorang ibu memeluk anaknya. Ibu tua ini acap saya lihat hanya berpakaian berupa mukena yang sudah tidak jelas lagi warnanya (atau mungkin saya sendiri yang buta warna, entahlah). Melihat nenek tersebut, saya sendiri hanya bisa tercenung mencoba untuk membayangkan seperti apa hidup seperti nenek ini. Sendiri, tidak berteman dan hanya bisa duduk dan berharap belas kasihan dari orang-orang yang lewat di depannya. Saya perhatikan juga, dari sekitar 50 orang yang lewat, biasanya cuma satu saja yang merogoh kantongnya dan memberikan pada perempuan tua ini. Yang lain? Mungkin termasuk saya, hanya lewat dan melihat dengan ujung mata, melengos serta tidak tergerak untuk memberi beberapa rupiah. Menerka-nerka kira-kira apa yang ada dalam pikiran mereka, seperti tidak jauh-jauh dari,"Untuk apa dikasihani. Memberikan uang pada pengemis tua ini hanya akan membuat ia manja. Membuat ia akan semakin betah untuk terus menjadi pengemis." Atau, bisa jadi juga karena memang mereka yang lewat itu cuma memiliki uang beberapa rupiah saja yang cukup untuk ongkos angkot, wallaahu a'lam. [caption id="attachment_178732" align="alignleft" width="300" caption="Mungkin Tuhan perlu turun tangan, agar kota-kota lebih banyak berisi manusia (Gbr: Phobucket)"][/caption] Saat saya sudah berada dalam angkot dan sopir sudah mulai memasang wajah serius membawa kendaraan tersebut. Mata saya hanya melihat-lihat keluar, sesekali coba merenung, bertanya-tanya sendiri atas semua yang sempat tertangkap oleh mata. Gambaran penumpang angkot juga menarik untuk dicermati. Terkadang hati saya berdesir saat melihat beberapa penumpang--lebih banyak perempuan--yang tidak lupa membaca bismillah saat hendak menaiki angkot. Melihat penumpang tipe ini, terkadang saya bersyukur karena mendengar penumpang tersebut membaca bismillah, masih ada rasa desiran dalam hati saya. Ya, sebagai muslim, saya teringat saja dengan ayat;innamal mu'minuunalladziina idza dzukirallaaha wajilat quluubuhum (terj: Orang-orang mu'min itu akan merasakan hatinya berdesir saat mendengar disebutkan asma Allah). Lebih jauh angkot berjalan, saya perhatikan pedagang kaki lima di kawasan Cihampelas. Mereka duduk dengan barang dagangan yang digelar di halaman pertokoan besar dan mall-mall yang ada di sana. Melihat itu, saya melihat sebuah sisi kontras, mereka hanya pedagang kecil yang seperti prajurit yang harus berjuang melawan kepongahan raksasa. Melihat mereka, saya mencoba juga untuk mereka-reka seperti apa pikiran konsumen. Kalau melihat dari gerak badan dan berbagai tingkah fisik atawa bahasa tubuh pembeli, mereka yang keluar dari mall-mall terlihat dadanya lebih membusung daripada beberapa pembeli yang sedang tawar-menawar dengan pedagang kaki lima. Jadi terpikir juga oleh saya, mungkin ini persoalan jiwa manusianya yang lebih suka yang besar. Syahdan, menguping kiri-kanan, bahkan ada yang mencari-cari obat untuk membuat besar (duh, ini cerita lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan cerita tadi). Tetapi memang soal besar kecil tak kalah menarik untuk dicermati. Lihat saja, orang-orang yang berumah besar bisa lebih disegani dari yang berumah kecil. Orang-orang besar (walau sebenarnya tubuhnya sama saja dengan umumnya manusia) lebih disegani dari orang-orang kecil. Orang-orang dari kota besar lebih disegani daripada orang-orang yang berasal dari kota kecil. Melihat diri sendiri, saya sendiri lebih kagum pada orang yang berjiwa besar tetapi tidak berkepala besar Kembali ke topik. Ternyata jalan-jalan memang memberi banyak pelajaran. Karena ini bagi saya juga merupakan proses membaca. Membaca yang tidak hanya tertulis dengan huruf yang cuma terbatas dari A sampai Z. Banyak nutrisi lebih yang ditemukan dari membaca, jika kegiatan membaca disamakan dengan makanan jiwa. Apalagi, ketika saya sempat obrol-obrol dengan salah satu sopir angkot;"Lihat Bang, itu mereka yang berdiri di pinggir jalan. Mereka menunggu angkot untuk pulang. Tetapi mereka sebenarnya sama sekali tidak menghargai angkot. Terkadang ongkos angkot saja lebih sering dibayar sesuka hati mereka. Kemarin ada mahasiswa yang naik angkot saya ke Cihampelas, dia malah cuma bayar 500. Sedikit sedih, saya katakan, kamu mau kalau harga dirimu saya beli dengan uang ini? Si mahasiswa itu baru membayar ongkos yang pantas." Keluh si sopir. "Sekarang kalau di kota-kota, angkot menjadi satu kendaraan yang sangat dibutuhkan. Tetapi sangat [caption id="attachment_178734" align="alignright" width="300" caption="Untuk awak angkot, dari sini mereka mendapat nasi. Dari sini, saya menemukan segenggam inspirasi (Gbr: itb.ac.id)"][/caption] sedikit yang mau menghargainya. Saya tidak sedih tetapi suka memperhatikan tingkah pola penumpang angkot kita." Lanjut sopir tersebut. Keluhan sopir ini sepintas bisa dikatakan sebagai sesuatu hal yang umum saja. Tetapi, saya lihat itu buka sekedar keluhan. Tapi di sana saya melihat adanya semacam sindiran kuat bagi kita sendiri, bangsa kita sendiri, betapa seringkali entah karena persoalan gengsi, sesuatu yang memang dibutuhkan tetapi terkadang jarang dihargai. Hal itu mengingatkan saya pada banyak hal. Seperti, seorang suami yang tidak menghargai istri padahal perempuan yang menjadi teman hidupnya itu bisa menjadi penyejuk hati. Membantunya bisa tetap mengenakan pakaian yang selalu rapi. Dan sentuhan tangannya membuat lelaki merasa lebih memiliki harga diri. Namun koran-koran masih banyak yang bercerita tentang lelaki yang menzalimi istri. Dari caci maki sampai memaksa istri untuk menjalankan kegiatan prostitusi. Juga ada anak yang diberikan banyak hal oleh orangtuanya. Politikus yang diangkat oleh rakyatnya, bahkan dibantu rakyat walau sekadar untuk mengikat 'tali sepatunya' tetapi soal menghargai itu memang sepertinya begitu sulit dilakukan. Tetapi, menyimak persoalan ini, jangankan sesama manusia, Tuhan saja yang memberi kehidupan, memberi nyawa sampai rejeki tetapi banyak juga yang mendurhakai. Entahlah. Saya rasa masalah tersebut tidak hanya persoalan sejauh mana seseorang memiliki pengetahuan, tetapi juga berkaitan sejauh mana pengetahuan tersebut merasuk sampai ke hati. Lebih lanjut pengetahuan itu bisa terimplementasi. Jelang tengah malam, saya pulang setelah lelah keliling kota. Lagi, saya tercenung lagi saat di beberapa ruas jalan terlihat anak-anak yang bahkan masih balita memanggul barang yang agak mirip ulekan. Dari sopir angkot saya menemukan jawaban atas potret yang lumayan membuat saya heran selama ini,"mereka memanggul itu tidak untuk dijual, tetapi justru cuma untuk membuat pengguna jalan kasihan dan memberi mereka uang. Sedang orang tua mereka sendiri tuh di sana, menunggu setoran." Jelas si sopir sambil menunjuk ke seberang jalan. Wallaahu a'lam. (ZA) ----------- Satu lagu favorit saya saat menulis tentang manusia, untuk mengstimulan kejujuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun