Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsistensi

15 Januari 2010   21:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:26 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_54768" align="alignleft" width="300" caption="Dunia di tanganku, akhirat di hatiku (Gbr: Reading Islam)"][/caption] Kejujuran nyaris menjadi mayat saat dikirimkan Tuhan untuk manusia. Tak jarang, sebagian berprasangka bahwa Tuhan terlalu suka bermain-main dengan mengirimkan kejujuran untuk disandingkan dengan jiwa, di persandingan rapuh.Lantas kejujuran itu dicincang dan diberikan kepada anjing. Sedangkan anjing lalu menjadi lebih jujur dibanding manusia. Dan yang kemudian terjadi adalah munculnya medan-medan yang lebih keruh dari debu Kurusetra. Perang antara anjing dengan manusia. Pertarungan kejujuran dengan pemuja dusta. Iya, sebuah jaman keanehan itu muncul mewujud sebagai realita. Saat manusia jujur lebih sering dituduh sebagai anjing, sedangkan anjing yang sedang mengenakan atribut manusia dipercaya sebagai sebenar manusia. Maka perang itu terjadi. Hanya saja memang yang paling sering terjadi, anak-anak panah, peluru-peluru diarahkan lawan dengan senyum termanis yang mereka bisa. Ketika ada beberapa prajurit yang terkesima dengan senyuman, selanjutnya beribu anak panah dan peluru telah menggantikan letak kulit tubuhnya.Sayangnya beberapa ekor anjing tidak tahu untuk apa anak-anak panah beterbangan, peluru-peluru berdesingan. Sampai, beberapa peluru dan anak panah itu juga dengan tepat sudah mengenai badannya. "Jika anjing menjadi manusia dan manusia sudah menjadi anjing, mana yang akan engkau jadikan pilihan?" Kelakar seorang sahabat saat mengisi malam bersama embun yang mulai jatuh, kepada sahabatnya. Entah disebabkan sudah tidak terlalu kuat untuk berpikir,yang ditanya hanya menjawab asal, "tetap memilih menjadi manusia dan melakukan semua tugasku sebagai manusia." "Itu saja yang kau ulangi dari sejak engkau belum turun ke medan perang ini." "Hm, tapi bukankah matahari yang terbit hari ini juga matahari yang sama yang muncul kemarin bukan?" "Ah, kau paling pintar untuk mencari-cari alasan." "Tetapi, baik, aku mencoba serius. Iya aku serius. Mereka yang menjadi pewaris durja, pewaris angkara, tidak lelah mengulang cerita durja dan angkara pada setiap pergulingan masa. Malah mereka dipuja karena konsisten dan teguh mengulangi cerita yang sama. Uhm, sedangkan kita, sebenarnya sudah terang melihat yang benar, tetapi begitu pagi merasa jenuh karena mengulang kebaikan yang pernah dilakukan yang kemarin. Konsistensi itu membosankan. Tetapi sejarah pahlawan yang kubaca, mereka tidak pernah dibunuh oleh jenuh." Lelaki yang ditanya menunjukkan ekspresi yang sulit terbaca, sehingga sahabatnya yang tadi bertanya tidak bisa mengambil kesimpulan apa. Tetapi ia hanya berharap---membaca dari keningnya---angin saja yang bisa menyimpulkan sudah cukup. Mungkin satu masa kelak, saat ia sedang dalam perjalanan panjangnya. Akan menyinggahkan kuping-kuping yang lebih bersih dengan kalimat yang telah disimpulkannya dengan sejuk. Insomnia Effect Aceh,16 Jan 10 (Photo taken from: Reading Islam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun