[caption id="attachment_52410" align="alignleft" width="300" caption="Mari kita belajar saja untuk bisa menikmati tawa (Gbr: Google)"][/caption] Sepertinya hidup memang memiliki banyak hal yang layak untuk ditertawakan. Seperti para sufi, saat malam mengurai tangis di tubuh malam. Dan siang menjadi jalang yang membunuh terang agar matahari tak lagi terlihat garang. Iya, itu terjadi tidak untuk membuat dunia harus menjadi seperti apa yang diinginkan. Tetapi hanya membuka jalan agar semua hidup, tumbuh, tegak sebagaimana ia seharusnya. Egoisme ditanggalkan di rerumpunan bambu tua, selanjutnya korek api dipaksa bersenggama dengan semua itu. Kobaran api selanjutnya menjadi arang-arang yang dipergunakan untuk menulis tentang kerinduan, takkan bisa terbaca oleh mereka yang takut pada malam. Sebagian menjadi debu, yang diambil oleh para malaikat untuk dijadikan salju dan ditaburkan di anak-anak rambut para pecinta. Mereka yang ngeri dengan tujuan penciptaan cinta memilih untuk terus saja berkeramas, menghabiskan semua air di oase semua gurun. Aku mengasihani pada petualang yang menapak gurun. Mereka tidak bisa menghilangkan dahaga yang hampir membunuh dan menyayat kulit-kulitnya. Aku melihat mereka dimamah burung-burung pemakan bangkai. Ah, hari ini, lembaran koran membuat aku terjaga dan tersadar dari semua igauan. Aku tidak sedang berada di tengah gurun itu. Dan sebenarnya aku tidak melihat apa-apa. Semua yang pernah singgah di mataku hanya ilusi lelaki yang baru bisa mengeja makna kedewasaan. Lembar koran membuatku buta. Lantas dalam kebodohan yang akut, mencoba mengambil kesimpulan, seperti inilah kebenaran. Sedangkan hukum-hukum kehidupan mengajarkan untuk tidak berpuas diri belajar hanya dari lembaran-lembaran koran. Tetapi, aku juga harus memuji yang yang diperlihatkan Tuhan, baik lewat lembar koran maupun dari buku-buku yang sudah dijadikan barang rongsokan. Bahwa yang terkandung dan ditanam Tuhan di dalam nurani jauh lebih penting untuk terus di eja, tak peduli orang-orang menertawakan kalimatku yang masih keluar dengan terbata-bata. Aku berpikir, semua orang bisa melihat semua yang bisa kulihat, bahwa semua yang sedang terjadi hanyalah dagelan yang memang dihidangkan Tuhan untuk membuat semua bisa tertawa. Karena telah jelas, tidak ada satupun ternyata yang telah bersetubuh utuh dengan kebenaran. Mereka yang kemarin menjadi bajak laut, tiba-tiba hari ini telah menjadi penyampai ayat-ayat Tuhan. Dan kebatilan itu tidak selamanya abadi sebagai kebatilan. Hanya heranku, kenapa musti tercipta sekian puisi yang berisi caci maki. Jika hari ini, ternyata sudah seperti ini. Penuh dengan hal-hal yang membingungkan. Lihatlah, Tuhan memberi permainan yang sering tak teraba dengan logika. Tetapi logika masih terus saja pongah menempatkan diri menginjak berbagai kitab suci. Semua ini yang membuatku semakin merindukan mati. Peradaban tidak lagi menjadi ukuran. Karena peradaban itupun, seperti halnya kemanusiaan, belum mengisi lembar satu kamuspun. Selain tertulis di beberapa buku pelajaran anak-anak dengan analogi yang sangat samar. Maka penjahat seketika menjadi pahlawan. Perampok dalam waktu tidak lama menjadi raja. Penjilat semakin melesat menuju kekuasaannya. Lelaki yang tak lagi berjidat diminta sebagai penasehat. Mungkin ini gejala kiamat? Kilah beberapa orang. Tidak, aku malah masih mengatakan ini semua sebagai bagian dari lakon dalam dagelan yang memang diperuntukkan Tuhan sebagai bahan canda tawa. Saat ini akupun kebingungan. Tersadar bahwa aku sedang berada di tubuh wanita yang telah begitu tua. Semakin kupandangin malah ia terlihat semakin jelita. Aku tahu ia telah sangat tua, tetapi hiasan di seluruh tubuhnya membuat jiwaku seakan dipaksa untuk menjamahnya kian liar. Di tubuhnyalah dagelan dipersembahkan. Entah untuk siapa? Terinspirasi: Kepolisian di sebuah negara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H