Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Pakaian Laila

11 Mei 2010   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:17 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belum bisa dikatakan seseorang pernah hidup ketika ia hanya bisa melihat bahwa yang [caption id="attachment_138360" align="alignright" width="234" caption="Laila, anakmu"][/caption] ada hanyalah tawa, dan sama sekali tidak pernah kenal warna airmata. Beruntung jika memang ada yang tidak pernah mengalami perih dan luka dalam hidup. Tetapi itu bukanlah sesuatu yang layak dipercaya, saat ada yang begitu keras teriak-teriak di depan khalayak kalau ia tidak pernah merasakan derita dan siksa yang dilakukan oleh tangan tak terlihat dalam hidup. Sebab semakin keras teriakan itu sebenarnya kian keras pula dera siksa yang sedang dialaminya. Pagi itu, Hasan tidak seperti biasanya. Ia justru tidak berangkat kerja sampai Ramat anaknya berangkat ke sekolah. Ia masih bersama berbatang-batang rokok yang ia hisap bersama sekian banyak tanya yang masih menggumpal di dada. Ada tidak sedikit perihal yang tidak dimengerti olehnya, selama ini ia sudah mencoba untuk menjalani hidup dengan lurus. Tidak pernah ia macam-macam. Mabuk, main perempuan, mengganggu milik orang, sama sekali tidak pernah dilakukannya. Heran saja, kenapa demikian banyak sisi hidup yang tidak mengenakkan terus terjadi dalam perjalanan hari-harinya. Makin parah, jika dulu istrinya, Laila melakukan kekerasan terhadap anak di belakangnya. Sekarang malah ia sudah berani terang-terangan. Seakan dirinya tidak lagi berharga dalam pandangan istri yang sudah dinikahi lebih dari 10 tahun dan sudah memberinya 2 anak itu. Teringat tadi pagi. Ketika Ramat ingin berangkat ke sekolah, menanyakan pakaian sekolahnya. Laila malah mencak-mencak, membentak anak kecil itu di depan Hasan. Terasakan sekali oleh lelaki ini, tujuan bentakan yang dikeluarkan istrinya itu tidak hanya kepada anak yang tidak tahu apa-apa itu. Namun ia merasakan kalau itu juga ditujukan pada dirinya yang memang sedang berada tidak jauh dari Ramat. ”Itu, pakaianmu masih dalam ember dengan pakaian-pakaian kotor lainnya. Kau jangan hanya bisa minta pakaian selalu bersih, tapi sehari-hari cuma asyik dengan baca buku saja. Kalau tidak malah kamu selalu saja habiskan waktu dengan main-main dengan temanmu. Nah, tuh kalau pakaian kotor seperti itu, bawa pakaian kotormu, mau tidak ibunya tolong cucikan pakaianmu?!?” Sengit Laila mulai menyirami kuping anaknya pagi-pagi dengan kalimat yang tidak mengenakkan. Hasan yang tidak banyak bicara bergegas ke sumur yang berdampingan dengan ruang tamu, berdinding plastik terpal warna hitam. Ruang tamu yang terkadang menebarkan aroma pesing ketika ada siapa saja buang air kecil tidak tersiram dengan baik. Pakaian sekolah Ramat diambil Hasan dan dicucinya. Setelah dijemur. ”Mat, tunggu saja dulu sebentar. Ini sudah Ayah peras pakaianmu. Mungkin 1 jam lagi sudah lebih kering dan bisa Ramat pakai ke sekolah, ya?” Ramat yang tidak mau untuk terlambat ke sekolah, menepis tawaran Bapaknya. ”Gak apa-apa Yah. Biar Ramat pakai saja baju itu. Nanti waktu upacara di sekolah pasti kering sendiri.” Ramat terus saja mengambil pakaian sekolah yang baru dicuci Ayahnya untuk kemudian langsung dikenakannya, tidak peduli pakaian masih basah. Walaupun Ayahnya sudah wanti-wanti untuk tidak pakai pakaian yang masih basah karena berisiko terkena penyakit kulit. “Nanti kamu bisa kena kurap kalo pake pakaian yang masih basah gitu, Mat.” ”Kan Ramat pake baju selalu gak pernah lupa baca Bismillah, Yah.” Terang Ramat singkat seolah coba untuk jelaskan kalau sesuatu dilakukan dengan menyebut nama Tuhan maka kemungkinan tidak akan ada pengaruh buruk yang terjadi padanya. Seperti yang selama ini juga diterangkan oleh guru Pelajaran Agama di sekolahnya. Tidak memperpanjang debat. Hasan hanya biarkan saja anaknya itu untuk kenakan saja pakaian yang masih basah itu. Ia hanya bisa menatap dengan perasaan iba. Tidak tertarik untuk marahi istrinya. Jangankan untuk marahi, menegur sedikit saja perempuan itu pasti akan berubah beringas dan ujung-ujungnya jugag hanya pertengkaran yang membosankan terjadi. Makanya ketika ada persoalan apa saja, Hasan cenderung memilih untuk diam saja daripada bercerita pada istrinya itu. Seperti kemarin ia sempat menegur Laila ketika ia akan ke rumah kenduri di rumah Cek Salam. Di Aceh, saat ada acara kenduri pernikahan atau juga kenduri kematian, tetangga-tetangga sering diundang untuk datang 3 hari sebelumnya untuk bantu masak dan persiapkan apa saja yang diperlukan untuk hari acara beberapa hari lagi. Dalam proses masak memasak beberapa hari sebelum acara puncak itu, seringkali tetangga yang membantu masak itu akan diminta untuk makan di rumah tempat acara itu akan berlangsung. Disamping nanti mereka akan diberikan bagian makanan untuk bisa dibawa pulang ke rumahnya. Nah, di acara itu, walaupun banyak tetangga lain yang juga datang. Jannah kecil ia bawa dengan pakaian yang kumal berbarengan dengan Hasan yang akan berangkat kerja. Ada beberapa pakaian yang masih bagus di lemari tidak dikenakan pada anaknya ini karena alasan hanya membuat pakaian bagus itu menjadi rusak. ”Untuk apa dipakaikan pakaian yang bersih untuk anak yang seperti monyet ini. Sebentar saja nanti sudah kotor. Rusak. Sebentar-sebentar ada uang habis untuk beli baju untuk anak-anak ini. Orang sudah bisa beli ini beli itu, kita cuma disibukkan pikirkan anak-anak ini saja. Untuk baju, celana sudah seperti orang kaya saja…” Kilah Laila, dan dengan tanpa beban dibawanya anak itu. Sesampai di acara itu, Laila sedang masak dengan ibu-ibu lain di halaman belakang rumah Cek Salam. Biasa di Aceh, kalau sedang acara seperti itu, untuk tempat masak tidak lagi di dalam rumah, namun memanfaatkan halaman belakang rumah dengan membuat tunggu besar berupa 2 pasang besi panjang, juga beberapa tungku. Untuk kayu, seringkali selain tuan rumah membeli sendiri. Masyarakat tidak sedikit pula yang dengan senang hati menyumbang dengan membawa pula masing-masing satu ikat kayu yang sudah dibelah sebesar tangan orang dewasa. Uniknya lagi, mereka saat membawa kayu itu, mereka hanya tempatkan saja di atas kepala tanpa memegangnya. Saat masak begitu, Jannah bermain dengan anak-anak tetangga lain. Sedang mereka kejar-kejaran dengan berpegangan tangan, Dek Ni anaknya Pawang Lani terjatuh. Tangisnya begitu besar, melngking. Jannah kecil hanya melihat dengan terdiam. Dagu anak kecil itu sedikit terluka dan mengeluarkan darah. Mak Teh yang kebetulan melihat teriak. ”Jeh aneuek si Hasan ka dipeutubiet darah aneuek gop (Tuh, anak si Hasan, sudah bikin anak orang berdarah.)” Suara Mak Teh yang begitu besar sepadan dengan besar badannya membuat Laila yang sedang mengaduk gulee boh panah (gulai nangka), panik. Keluar. Plak…!!! Plak…!!! Plak…..!!! Terang saja Jannah menangis dengan pukulan ibunya di punggung gadis kecil ini. Aaaaaaaaaaaaaaaa!!! Lengking tangis Jannah mengundang yang punya rumah ikut keluar. ”Kenapa anakmu, La?” ”Tuh, Mak Cek. Anak orang dipukuli dia sampai berdarah. Entah dikiranya Ayahnya nanti sanggup obati anak orang yang sudah berdarah gara-gara dia.” Plak! Dipukuli lagi gadis kecil yang tidak bisa jelaskan kalau itu bukan karena kesalahannya. Anak ini hanya bisa menangis terisak-isak. [caption id="attachment_138484" align="alignleft" width="225" caption="Laila, ingat anakmu (Model; Meytari)"][/caption] “Sudahlah, La. Nama juga anak-anak, mungkin jatuh tidak sengaja. Jangan dipukuli lagi, kasihan anakmu.” Ujar istri Cek Salam sambil memeluk Jannah yang menangis karena dipukuli di depan anak-anak lain dan beberapa ibu-ibu yang juga sedang berada di sana. Gadis kecil ini bisa merasakan malu juga sekalipun ia tidak mengatakannya. Pelukan istri Cek Salam itu cukup bisa tenangkan hati si kecil ini, dan pelan-pelan ia hentikan tangisnya. Walaupun Laila masih belum mengerem repetannya terhadap anak kecil ini. “Anak tidak tahu diuntung. Aku lahirkan kamu itu bukan untuk bikin aku malu, tahu!” ”Sudah, sudah, La. Ini anakmu masih kecil, dia mana tahu apa yang dilakukannya. Mungkin juga bukan salahnya. Sudahlah, biar Jannah saya jaga.” Lerai perempuan lembut, istri Cek Salam ini. Dengan merengut Laila kembali ke belakang untuk mengaduk Gulee boeh panah. Sedang Jannah walau terlihat dekil, tetapi begitu tulus dipeluk dan dibelai Ti Jani, istri Cek Salam. ———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa 22. Perempuan Itu tak Berbaju. 23. Anak Lapar dan Perempuan Sangar. 24. Menelusuri Dada Laila 25. Perempuan Hitam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun