Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Lendir

29 September 2010   17:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:51 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menyukai matamu. Aku terpana setiap terkena oleh cahaya cintamu, kekasih.

[caption id="attachment_273667" align="alignleft" width="266" caption="Tidak perlu ke syurga untuk bisa merasakan cinta (Gbr: bridgemanimage.com)"][/caption] Busur panah tak lagi berada di tangan. Telah lama berpindah ke mata, terpegang kuat dan melesat ke dalam hati meski tidak memiliki jemari untuk menarik busurnya. Mungkin sejarah tangan lebih banyak berisi catatan tentang darah dan kenistaan, maka panah-panah cinta tak pernah bisa ditarik busurnya dari jemari. Ah, cinta itu ternyata berisi keanehan yang tidak mudah kucerna, Tuhan. Tapi tunggu dulu, pada sebuah masa, karena tidak berkenan matanya menjadi pengganggu mata seorang lelaki lajang untuk melihat Tuhannya. Di luar perkiraan, perempuan itu memilih keluarkan mata indahnya dengan pisau untuk dibawakan pada lelaki yang pernah nyatakan kekaguman pada keindahan matanya. Apakah ini tragedi, pilihan itu layak dikatakan tragis? Terbukti, itu sudah terjadi. Terbukti itu tersurat dalam banyak cerita di ujung pena mereka yang pernah menyediakan diri untuk menjadi pencatat cerita cinta. [caption id="attachment_273670" align="alignright" width="300" caption="Gbr: Pribadi"][/caption] Untuk ukuran otakku yang sepertinya memiliki berat yang sama sekali tidak di atas otak kebanyakan orang. Menyedihkan ketika soal cinta dipergulatkan cinta pada indah tubuh indah perempuan, pada binar bening matanya beserta semua keindahan yang dilekatkan Tuhan pada mereka dengan cinta pada Tuhan sendiri. Sebab, jika menyetarakat cinta kedua kutub itu, sepertinya hanya akan membuat manusia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar dan sama sekali tidak bisa bicara apa-apa lagi. Selain, yang dicintainya saja. Lepas kutub mana saja yang lebih menarik perhatiannya.  Hanya saja, pilihan paling mudah yang mungkin untuk saya ambil, dalam keterbatasan berat otak itu tadi, cinta itu tidak harus dibenturkan. Tidak, saya tidak bermaksud mengatakan cinta itu seperti lendir yang muncrat, menetes lalu kemudian ditepis angin bahwa sampai ke rumah-rumah pelacuran. Namun, ada kemiripan dari yang saya perhatikan. Cinta bisa seperti lendir, karena lendir itu sendiri dalam beberapa catatan yang pernah saya lirik juga diperanakkan oleh tetes-tetes air. Dari air sungai syurga yang diminum Adam, keluar lewat rahim Hawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun