Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penjara Bukan untuk Penakut

25 April 2010   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_126331" align="alignleft" width="300" caption="Kebenaran terkadang berakhir pada penjara, tetapi kebenaran itu sendiri tidak akan pernah terpenjara (Zulfikar Akbar)"][/caption]

Perlu untuk tetap mengalir namun tidak perlu terhanyut. Perlu untuk tetap membaur tetapi tidak perlu sampai larut.

***

Terkadang, dengan kecerdasannya begitu banyak metamorfosis lendir mani yang mencoba jauhkan lendir-lendir lain menjauh dari suara-Nya. Kecerdasan tidak dipergunakan untuk mendekat pada kebenaran, hanya karena alasan bahwa kebenaran itu saja tidak jelas. Kebenaran dipandang dengan mata milik orangtua rabun, meskipun sebenarnya masih jernih. Menjadi rabun karena ia sendiri yang memilih untuk rabun, maka yang terang tetap saja terlihat samar. Lalu ia pecah kembali sebagai lendir yang tak berharga. Bukan dijatuhkan oleh manusia, tidak juga oleh siapa-siapa, hanya oleh tangan Tuhan sendiri. Diberikan otak hanya berpikir untuk mendapatkan sebait puisi pujian, padahal meskipun bertahan lama pujian itu juga hilang seiring kematian orang-orang yang memberi pujian. Setahuku, tidak pernah ada sinar matahari untuk hati yang sudah dijadikan goa yang penuh dengan sarang laba-laba, justru itu sebenarnya tidak lebih dari pohon rapuh yang akan tumbang hanya oleh gelitikan semut. Membuat pikiran kian semrawut, hati semakin kusut.

***

Aku pernah tiba dalam kerumunan tawa yang terlihat sarat warna ceria, tetapi itu tidak terlihat dimataku sebagai sebagai kebenaran. Karena kebenaran tidak melulu harus berakhir tawa, sebab memang tidak sedikit kebenaran yang bahkan berakhir pada penjara ketika jengkal tanah berada di genggam tangan angkara. Ah, berapa lama mereka bisa membuat seorang manusia ternista? Kuyakini hanya beberapa senja saja. Sedang mereka kelak pasti mati justru ketika mabuk dalam cangkir-cangkir arak didepan berhalanya. Aku diajarkan untuk berbaur, tetapi tidak diminta untuk larut. Pelajaran itu kutemukan dari kebenaran yang sebenarnya tidak kudapat dari seribu satu teori, tetapi hanya dari segenggam hati setelah sekian lama menapak jalan berselemak onak duri. Aku diajarkan untuk mengalir tidak tidak diminta untuk terhanyut. Karena perjalanan manusia tidak untuk mati dengan mayat tersimpan di dalam laut. Tetapi mengajak membaca secara bersama, jauh dari segala rasa kalut, apalagi takut. Berangkat dari sejarah yang telah kucoba terus untuk bisa ku runut. Karena jikapun terjatuh, perjalanan dalam cinta tanpa benih-benih angkara, ada banyak sekali tangan malaikat tak terlihat tapi siap menyambut. Maka sebenarnya, untuk bersikap tidak ada sesuatupun yang harus membuat diri ini merasa kecut, apalagi takut. Karena dalam kejujuran, aku diizinkan bisa melihat senyum-Nya yang sebenarnya jauh lebih lembut dari yang bisa ditebar jika aku hanya belajar dari makhluk pengecut. Sumber Gambar: Here

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun